Dari sekitar 900.000 hektar lahan pertanian produktif di Jawa Timur (Jatim), sekitar 99 persen lahan menggunakan pupuk kimia. Sementara pemakaian pupuk organik hanya satu persen dari luas lahan yang ada.
"Padahal, penggunaan pupuk kimia tanpa dosis yang tepat akan membuat tanah rusak dan kehilangan unsur hara," kata Direktur Klinik Konsultasi Pertanian HM Noer Soetjipto SP MM, Kamis (24/1), usai mengikuti acara diskusi. Ia mengatakan, saat ini petani banyak menggunakan pupuk kimia untuk memacu hasil produksinya.
Akan tetapi, petani tidak sadar bahwa mereka telah merusak tanah. Tanah menjadi keras, unsur hara hilang, dan hasil produksi pertanian semakin menurun. Penurunan produksi pertanian membuat petani semakin meninggikan dosis pupuk yang digunakan. "Akibatnya, kerusakan semakin parah," kata Soetjipto.
Ia menjelaskan, untuk mengembalikan kondisi tanah agar sesuai kondisi semula (natural) dibutuhkan pupuk organik yang lebih ramah lingkungan. Pupuk organik berfungsi memperbaiki struktur tanah, meningkatkan bahan organik, dan memperbaiki aktivitas mikroba tanah.
Berdasarkan penelitian di Jepang, rehabilitasi tanah dengan kondisi yang sudah parah seperti Indonesia membutuhkan waktu lima tahun lebih, dengan kondisi tiga kali musim tanam per tahun. Setiap hektar lahan membutuhkan 500 kg pupuk organik.
Saat ini, kata Soetjipto, ada berbagai jenis pupuk organik. Yang tengah dikembangkan Soetjipto adalah pupuk organik dari limbah jamur.
Selain ramah lingkungan, penggunaan pupuk organik juga menguntungkan secara ekonomis. Harga satu kilogram pupuk organik Rp 500, sementara harga pupuk urea (yang sering digunakan petani) Rp 1.300. Perbandingannya, dalam satu hektar lahan, petani hanya mengeluarkan dana Rp 250.000 jika menggunakan pupuk organik.
Sedangkan yang menggunakan pupuk kimia jauh lebih banyak lagi. Satu hektar tanah butuh 200 kg pupuk urea, 100 kg pupuk SP 36, dan 75 kg pupuk KCl. Dihitung dari pemakaian pupuk urea saja, petani harus mengeluarkan dana Rp 260.000 per hektar. Belum lagi dana untuk pupuk jenis lainnya. (Kompas 25 Januari 2002)