Masyarakat menginginkan makanan yang aman dari sisi kesehatan. Untuk memenuhi permintaan pasar itu, maka muncullah padi organik, yakni padi yang disahkan oleh suatu badan independen untuk ditanam dan diolah menurut standar organik yang ditetapkan. Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan yang diimbangi dengan meningkatnya kemampuan daya beli akhir-akhir ini telah mendorong konsumsi terhadap produk makanan yang aman bagi kesehatan dan ramah lingkungan terus meningkat.
Perubahan pola konsumsi masyarakat terhadap produk makanan ‘berlabel hijau’ inilah yang sejak beberapa tahun terakhir mulai ditangkap sebagai peluang pasar yang potensial dan ingin digarap oleh para petani di Jatim dengan mengembangkan budi daya tanaman padi organik. Hal ini kemudian dipadukan dengan program Pemprov Jatim yang menginginkan Jatim ‘lebih maju’ dari sekadar produsen beras konvensional yang dihasilkan dari sawah seluas 1.160.426 hektare dengan produksi 8,9 juta ton gabah per tahun untuk ditingkatkan menjadi produsen beras organik yang lebih ‘bergengsi’.
Muh. Maksum, Kepala Dinas Pertanian Provinsi Jatim mengatakan sebenarnya budi daya tanaman pertanian berbasis teknologi organik yang dikembangkan di Jatim bukan hanya padi. Sejumlah komoditas lain, mulai sayur mayur dan buah-buahan bahkan sudah lebih awal dikembangkan dengan pendekatan teknologi budi daya pertanian organik. “Seperti kentang, kobis, wortel hingga buah-buahan bahkan umbi-umbian yang dikembangkan dengan budi daya tanaman organik sudah banyak ditemui di berbagai super market.”
Hanya saja, tampaknya Pemprov Jatim memiliki pertimbangan tertentu, antara lain teknis dan pasar yang lebih potensial, maka pengembangan budi daya tanaman padi organik lebih dikedepankan. Sementara pengembangan tanaman organik nonpadi lebih diserahkan ke pelaku bisnis dengan kerjasama petani setempat seperti yang dikembangkan seorang pengusaha swasta dengan petani disekitar Batu dan Malang.
Uji coba
Berdasarkan berbagai pertimbangan, termasuk kesiapan teknis dan dukungan pemerintah daerah, pengembangan budi daya tanaman padi organik di Jatim diawali di Kabupaten Lumajang.
Tepatnya di desa Oro-oro Ombo, Kecamatan Pronojiwo, Kab. Lumajang pada akhir 2001. Hasil panen perdana padi organik di wilayah kerja Kelompok Tani Among Tani seluas 25 hektare saat itu menuai sukses.
Petanipun gembira. Meski produksi gabah hanya 4,9 ton per hektare atau dibawah rata-rata produksi padi konvensional yang mencapai 5,3 ton per hektare, tetapi karena nilai jual gabah kering giling (GKG) yang saat itu Rp1.700 per kg atau jauh lebih tinggi dari GKG padi konvensional sebesar Rp1.100 per kg, maka keuntungan yang diterima petani relatif masih lebih tinggi. “Karena sejumlah input budi daya a.l. penggunaan pupuk anorganik dan pengendalian hama penyakit yang menggunakan bahan alami jauh lebih rendah,” kata Eddy Prasetyo Utomo, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Lumajang.
Pada 2002 luas tanaman padi organik di Lumajang ditingkatkan menjadi 75 hektare di Kecamatan Candipuro dan Pronojiwo. Luas itu tetap dipertahankan sampai kini. Pada awalnya, perluasan areal pertanaman terus dibayangi sukses, karena respon pasar cukup menjanjikan. Dimana hasil penjualan beras organik relatif lancar. “Dimana untuk memenuhi kebutuhan lokal saja saat itu kurang,” katanya.
Saat itu petani bahkan sudah mampu membuat pupuk casting yang merupakan bahan organik dari kotoran cacing yang diberi pakan jerami dan kotoran ternak. Pupuk organik ini sebagai pengganti pupuk Urea dan SP36. Dan untuk pengendalian hama/penyakit digunakan bahan alami, termasuk cairan daun tembakau atau tanaman mimbo.
“Penggunanan bahan alami dalam budi daya padi organik ini selain bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah penerimaan petani juga perbaikan kualitas lingkungan berupa meningkatnya kandungan organik (C Organik) pada tanah yang tergerus hingga rata-rata dibawah 2% akibat penggunaan bahan anorganik yang berbahan baku sintetis,” kata F. Kasiadi, peneliti dari Badan Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Malang.
Bahkan untuk antisipasi perkembangan budi daya padi organik di masa depan, Pemkab Lumajang juga bekerjasama dengan BPTP Malang mengembangkan budi daya pertanian terpadu, yaitu penerapan teknologi pertanian yang digabungkan dengan ternak. Kerja sama ini, kata Kasiadi, melibatkan sekitar 16 wilayah kecamatan di Lumajang. “Salah satu tujuannya untuk memacu populasi ternak dan sekaligus memanfaatkan kotoran ternaknya untuk dijadikan bahan baku pembuatan pupuk organik.” Keberhasilan petani padi organik di Lumajang ini kemudian menyulut semangat petani di sejumlah daerah lain untuk coba-coba mengembangkan padi organik, termasuk Kabupaten Malang.
Berdasarkan catatan Dinas Pertanian Jatim, potensi budi daya pertanian organik di Malang mencapai 220 hektare, tapi menurut Poerwanto, mantan kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Malang saat itu yang dikembangkan baru sekitar lima hekater saja, yaitu di Desa Sumber Ngepoh, Kec. Lawang.
“Sebenarnya saat itu akan diperluas ke Tumpang dan Kromengan yang juga ditujukan untuk melestarikan padi varietas Tumpang yang merupakan padi unggul daerah. Tapi karena berbagai kendala akhirnya baru Lawang yang dikembangkan,” katanya kepada Bisnis.
Sejumlah daerah lain di Jatim yang juga potensial untuk pengembangan budi daya pertanian organik di Jatim, adalah Magetan (418 hektare), Tulungagung (140 hektare), Jombang (37 hektare), Ngawi (55 hektare) dan Madiun (20 hektare), Blitar, Banyuwangi, Jember, Mojokerto dengan luas total sekitar 1.830 hektare.
Meski begitu hingga kini ternyata belum banyak daerah yang mengembangkan teknologi budi daya pertanian organik tersebut. “Bahkan Banyuwangi maupun Jember belum melakukan apa-apa,” kata Kasiadi.
Pemasaran Seret
Apa yang menjadi sebab mengapa daerah-daerah tersebut belum banyak yang bergerak, ternyata mereka punya alasan yaitu pasaran beras organik agak seret. Kondisi ini bertolak belakang dengan sikap optimistis Maksum yang sebelumnya sempat mengatakan ada permintaan beras organik dari Singapura dan Eropa sebanyak 1.000 ton per bulan.
Belum sempat peluang pasar ekspor tersebut direalisasi, ternyata di Lumajang terjadi perkembangan yang kurang menggembirakan. Eddy menuturkan harga jual gabah kering giling (GKG) padi organik pada tahun lalu hanya laku Rp1.300 per kg. Yang berarti tidak beda jauh dengan GKG padi konvensional yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp1.100 per kg.
“Dengan harga seperti itu yang berarti pendapatan petani relatif tidak beda dengan petani padi konvensional. Hal ini menyebabkan semangat petani jadi mengkerut,” katanya kepada Bisnis belum lama ini. Bahkan, lanjut dia, ketika ikut lelang komoditas pertanian yang diselenggarakan di Surabaya beberapa bulan lalu, beras organik Lumajang hanya ditawar Rp3.000 per kg, sementara harga beras konvensional kelas menengah berkisar antara Rp2.500 hingga Rp2.600 per kg. “Yang berarti tidak jauh beda.”
Pemasaran beras organik ke pasar umum, kata Eddy, terpaksa dilakukan setelah Koperasi Pertanian Nusantara yang berpusat di Yogyakarta tidak lagi menyerap hasil panen petani. Koperasi tersebut yang sebelumnya terikat perjanjian dengan petani menyerap seluruh hasil panen dengan harga Rp1.700 per kg untuk gabah GKG hanya merealisasi satu kali, yaitu hasil panen pertama. “Setelah itu tidak. Maka kemudian pemasarannya ditangani dinas [Pertanian].”
Kondisi inilah, menurut dia, yang akhirnya menyebabkan semangat mengembangkan padi organik di Lumajang mulai kendur. Dinas Pertanian Lumajang kemudian memutuskan untuk sementara waktu mengerem laju perluasan tanaman padi organik, meski diakui sejumlah petani dari kawasan lain di luar Pronojiwo dan Candipuro minta tanaman padi organik diperluas
“Kami tidak ingin tergesa-gesa daripada nanti petaninya kecewa. Lebih baik kami mempersiapkan dulu dengan melihat perkembangan pasarnya. Kalau bagus kita langsung genjot lagi.” Kasiadi melihat seretnya penyerapan pasar terhadap beras organik merupakan kunci utama yang menghambat pengembangan budi daya organik di masa mendatang. “Bukan hanya untuk padi organik, seluruh barang produksi yang ditujukan bagi pemasaran. Meski kualitas barang yang dihasilkan bagus bagaimanapun, tapi kalau pasar tidak merespons ya..tetap saja tidak laku [dijual]. Tidak bisa dipaksakan.”
Sebenarnya, lanjutnya, selain masalah pemasaran pengembangan budi daya padi organik juga memiliki kendala lain, yaitu menyangkut teknis baik lokasi maupun teknis budi daya terkait dengan pembuatan pupuk organik serta penyediaan bibit unggul daerah. “Tapi kunci utamanya di pasar.”
Lokasi budi daya pertanian organik, kata dia, harus benar-benar isolatif dengan mendapat air pengairan langsung dari sumber mata air agar tidak tercemar atau terkontaminasi oleh pestisida atau residu pupuk anorganik yang terbawa air irigasi. “Lokasi ini tepatnya di kawasan dataran tinggi.” Itupun harus dibuktikan melalui penelitian oleh lembaga sertifikasi organik.
Menurut satu sumber, untuk proyek padi organik di Lumajang penelitian lokasi atas kegiatan itu ditangani oleh lembaga sertifikasi organik Embrio dan Lembaga Pengawasan Produk Pertanian. Embrio merupakan lembaga yang mendapat lisensi dari International Federation of Organik Agriculture Movement (IFOAM) yang berpusat di Jerman.
“Setifikasi ini selain untuk melindungi konsumen dari penipuan dan manipulasi oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab, juga menunjukkan bahwa seluruh proses persiapan, produksi, penyimpanan, pengangkutan hingga pemasaran telah memenuhi tahapan yang dipersyaratkan sesuai ketentuan yang berlaku secara internasional.”
Dengan demikian hal itu akan memudahkan pemasaran, termasuk jika produk tersebut diekspor, termasuk ke Eropa sekalipun. Pembuatan pupuk organiknya juga rumit karena bersifat bulk, sehingga transportasinya susah. Tidak praktis. “Belum teknis pembuatannya yang juga perlu proses pembelajaran.”
Bibit Lokal
Menyangkut bibit padi organik yang digunakan, Kasiadi menyatakan, seharusnya verietas unggul lokal, di mana selain produksinya tinggi juga memiliki rasa nasi yang enak. Saat ini, kata dia, ketersediaan bibit padi unggul lokal ini relatif sulit didapat karena memang sudah tergolong langka. “Sehingga jika diperlukan dalam jumlah massal dalam satuan waktu tertentu tidak tersedia.”
Dari hasil kegiatan pemuliaan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Malang, hingga kini sudah berhasil mengumpulkan sekitar 100 varietas padi unggul lokal yang ada di Jawa a.l. varietas Jawa, Bengawan, Tumpang, Wangi, Gilirang, Fatmawati, Selanggeng, hingga Bagus. “Proyek pertanian organik ini selain untuk meningkatkan pendapatan petani juga pelestarian terhadap varietas tanaman unggul lokal.”
Dalam mengembangkan pasar, kata dia, harus ada pihak ketiga yang menjadi pioneer. “Lebih baik kalau pihak ketiga ini merupakan perusahaan yang cukup kuat modalnya dan memiliki jaringan distribusi luas, sehingga jaminan pemasaran bisa terjaga.”
Syukur mereka juga bersedia menjadi bapak angkat bagi petani produsen dengan memberi pinjaman modal kerja dengan skema yang saling menguntungkan, tambahnya. Pengalaman yang dijalin petani padi di Lumajang dengan Koperasi Pertanian Nusantara patut dijadikan kajian untuk menjalin kerja sama serupa dengan pengusaha lainnya. Tanpa begitu, pihaknya yakin, prospek bagus beras organik tidak akan bisa tergarap secara optimal. (Bambang Sutejo, praktisi pertanian )
Perubahan pola konsumsi masyarakat terhadap produk makanan ‘berlabel hijau’ inilah yang sejak beberapa tahun terakhir mulai ditangkap sebagai peluang pasar yang potensial dan ingin digarap oleh para petani di Jatim dengan mengembangkan budi daya tanaman padi organik. Hal ini kemudian dipadukan dengan program Pemprov Jatim yang menginginkan Jatim ‘lebih maju’ dari sekadar produsen beras konvensional yang dihasilkan dari sawah seluas 1.160.426 hektare dengan produksi 8,9 juta ton gabah per tahun untuk ditingkatkan menjadi produsen beras organik yang lebih ‘bergengsi’.
Muh. Maksum, Kepala Dinas Pertanian Provinsi Jatim mengatakan sebenarnya budi daya tanaman pertanian berbasis teknologi organik yang dikembangkan di Jatim bukan hanya padi. Sejumlah komoditas lain, mulai sayur mayur dan buah-buahan bahkan sudah lebih awal dikembangkan dengan pendekatan teknologi budi daya pertanian organik. “Seperti kentang, kobis, wortel hingga buah-buahan bahkan umbi-umbian yang dikembangkan dengan budi daya tanaman organik sudah banyak ditemui di berbagai super market.”
Hanya saja, tampaknya Pemprov Jatim memiliki pertimbangan tertentu, antara lain teknis dan pasar yang lebih potensial, maka pengembangan budi daya tanaman padi organik lebih dikedepankan. Sementara pengembangan tanaman organik nonpadi lebih diserahkan ke pelaku bisnis dengan kerjasama petani setempat seperti yang dikembangkan seorang pengusaha swasta dengan petani disekitar Batu dan Malang.
Uji coba
Berdasarkan berbagai pertimbangan, termasuk kesiapan teknis dan dukungan pemerintah daerah, pengembangan budi daya tanaman padi organik di Jatim diawali di Kabupaten Lumajang.
Tepatnya di desa Oro-oro Ombo, Kecamatan Pronojiwo, Kab. Lumajang pada akhir 2001. Hasil panen perdana padi organik di wilayah kerja Kelompok Tani Among Tani seluas 25 hektare saat itu menuai sukses.
Petanipun gembira. Meski produksi gabah hanya 4,9 ton per hektare atau dibawah rata-rata produksi padi konvensional yang mencapai 5,3 ton per hektare, tetapi karena nilai jual gabah kering giling (GKG) yang saat itu Rp1.700 per kg atau jauh lebih tinggi dari GKG padi konvensional sebesar Rp1.100 per kg, maka keuntungan yang diterima petani relatif masih lebih tinggi. “Karena sejumlah input budi daya a.l. penggunaan pupuk anorganik dan pengendalian hama penyakit yang menggunakan bahan alami jauh lebih rendah,” kata Eddy Prasetyo Utomo, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Lumajang.
Pada 2002 luas tanaman padi organik di Lumajang ditingkatkan menjadi 75 hektare di Kecamatan Candipuro dan Pronojiwo. Luas itu tetap dipertahankan sampai kini. Pada awalnya, perluasan areal pertanaman terus dibayangi sukses, karena respon pasar cukup menjanjikan. Dimana hasil penjualan beras organik relatif lancar. “Dimana untuk memenuhi kebutuhan lokal saja saat itu kurang,” katanya.
Saat itu petani bahkan sudah mampu membuat pupuk casting yang merupakan bahan organik dari kotoran cacing yang diberi pakan jerami dan kotoran ternak. Pupuk organik ini sebagai pengganti pupuk Urea dan SP36. Dan untuk pengendalian hama/penyakit digunakan bahan alami, termasuk cairan daun tembakau atau tanaman mimbo.
“Penggunanan bahan alami dalam budi daya padi organik ini selain bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah penerimaan petani juga perbaikan kualitas lingkungan berupa meningkatnya kandungan organik (C Organik) pada tanah yang tergerus hingga rata-rata dibawah 2% akibat penggunaan bahan anorganik yang berbahan baku sintetis,” kata F. Kasiadi, peneliti dari Badan Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Malang.
Bahkan untuk antisipasi perkembangan budi daya padi organik di masa depan, Pemkab Lumajang juga bekerjasama dengan BPTP Malang mengembangkan budi daya pertanian terpadu, yaitu penerapan teknologi pertanian yang digabungkan dengan ternak. Kerja sama ini, kata Kasiadi, melibatkan sekitar 16 wilayah kecamatan di Lumajang. “Salah satu tujuannya untuk memacu populasi ternak dan sekaligus memanfaatkan kotoran ternaknya untuk dijadikan bahan baku pembuatan pupuk organik.” Keberhasilan petani padi organik di Lumajang ini kemudian menyulut semangat petani di sejumlah daerah lain untuk coba-coba mengembangkan padi organik, termasuk Kabupaten Malang.
Berdasarkan catatan Dinas Pertanian Jatim, potensi budi daya pertanian organik di Malang mencapai 220 hektare, tapi menurut Poerwanto, mantan kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Malang saat itu yang dikembangkan baru sekitar lima hekater saja, yaitu di Desa Sumber Ngepoh, Kec. Lawang.
“Sebenarnya saat itu akan diperluas ke Tumpang dan Kromengan yang juga ditujukan untuk melestarikan padi varietas Tumpang yang merupakan padi unggul daerah. Tapi karena berbagai kendala akhirnya baru Lawang yang dikembangkan,” katanya kepada Bisnis.
Sejumlah daerah lain di Jatim yang juga potensial untuk pengembangan budi daya pertanian organik di Jatim, adalah Magetan (418 hektare), Tulungagung (140 hektare), Jombang (37 hektare), Ngawi (55 hektare) dan Madiun (20 hektare), Blitar, Banyuwangi, Jember, Mojokerto dengan luas total sekitar 1.830 hektare.
Meski begitu hingga kini ternyata belum banyak daerah yang mengembangkan teknologi budi daya pertanian organik tersebut. “Bahkan Banyuwangi maupun Jember belum melakukan apa-apa,” kata Kasiadi.
Pemasaran Seret
Apa yang menjadi sebab mengapa daerah-daerah tersebut belum banyak yang bergerak, ternyata mereka punya alasan yaitu pasaran beras organik agak seret. Kondisi ini bertolak belakang dengan sikap optimistis Maksum yang sebelumnya sempat mengatakan ada permintaan beras organik dari Singapura dan Eropa sebanyak 1.000 ton per bulan.
Belum sempat peluang pasar ekspor tersebut direalisasi, ternyata di Lumajang terjadi perkembangan yang kurang menggembirakan. Eddy menuturkan harga jual gabah kering giling (GKG) padi organik pada tahun lalu hanya laku Rp1.300 per kg. Yang berarti tidak beda jauh dengan GKG padi konvensional yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp1.100 per kg.
“Dengan harga seperti itu yang berarti pendapatan petani relatif tidak beda dengan petani padi konvensional. Hal ini menyebabkan semangat petani jadi mengkerut,” katanya kepada Bisnis belum lama ini. Bahkan, lanjut dia, ketika ikut lelang komoditas pertanian yang diselenggarakan di Surabaya beberapa bulan lalu, beras organik Lumajang hanya ditawar Rp3.000 per kg, sementara harga beras konvensional kelas menengah berkisar antara Rp2.500 hingga Rp2.600 per kg. “Yang berarti tidak jauh beda.”
Pemasaran beras organik ke pasar umum, kata Eddy, terpaksa dilakukan setelah Koperasi Pertanian Nusantara yang berpusat di Yogyakarta tidak lagi menyerap hasil panen petani. Koperasi tersebut yang sebelumnya terikat perjanjian dengan petani menyerap seluruh hasil panen dengan harga Rp1.700 per kg untuk gabah GKG hanya merealisasi satu kali, yaitu hasil panen pertama. “Setelah itu tidak. Maka kemudian pemasarannya ditangani dinas [Pertanian].”
Kondisi inilah, menurut dia, yang akhirnya menyebabkan semangat mengembangkan padi organik di Lumajang mulai kendur. Dinas Pertanian Lumajang kemudian memutuskan untuk sementara waktu mengerem laju perluasan tanaman padi organik, meski diakui sejumlah petani dari kawasan lain di luar Pronojiwo dan Candipuro minta tanaman padi organik diperluas
“Kami tidak ingin tergesa-gesa daripada nanti petaninya kecewa. Lebih baik kami mempersiapkan dulu dengan melihat perkembangan pasarnya. Kalau bagus kita langsung genjot lagi.” Kasiadi melihat seretnya penyerapan pasar terhadap beras organik merupakan kunci utama yang menghambat pengembangan budi daya organik di masa mendatang. “Bukan hanya untuk padi organik, seluruh barang produksi yang ditujukan bagi pemasaran. Meski kualitas barang yang dihasilkan bagus bagaimanapun, tapi kalau pasar tidak merespons ya..tetap saja tidak laku [dijual]. Tidak bisa dipaksakan.”
Sebenarnya, lanjutnya, selain masalah pemasaran pengembangan budi daya padi organik juga memiliki kendala lain, yaitu menyangkut teknis baik lokasi maupun teknis budi daya terkait dengan pembuatan pupuk organik serta penyediaan bibit unggul daerah. “Tapi kunci utamanya di pasar.”
Lokasi budi daya pertanian organik, kata dia, harus benar-benar isolatif dengan mendapat air pengairan langsung dari sumber mata air agar tidak tercemar atau terkontaminasi oleh pestisida atau residu pupuk anorganik yang terbawa air irigasi. “Lokasi ini tepatnya di kawasan dataran tinggi.” Itupun harus dibuktikan melalui penelitian oleh lembaga sertifikasi organik.
Menurut satu sumber, untuk proyek padi organik di Lumajang penelitian lokasi atas kegiatan itu ditangani oleh lembaga sertifikasi organik Embrio dan Lembaga Pengawasan Produk Pertanian. Embrio merupakan lembaga yang mendapat lisensi dari International Federation of Organik Agriculture Movement (IFOAM) yang berpusat di Jerman.
“Setifikasi ini selain untuk melindungi konsumen dari penipuan dan manipulasi oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab, juga menunjukkan bahwa seluruh proses persiapan, produksi, penyimpanan, pengangkutan hingga pemasaran telah memenuhi tahapan yang dipersyaratkan sesuai ketentuan yang berlaku secara internasional.”
Dengan demikian hal itu akan memudahkan pemasaran, termasuk jika produk tersebut diekspor, termasuk ke Eropa sekalipun. Pembuatan pupuk organiknya juga rumit karena bersifat bulk, sehingga transportasinya susah. Tidak praktis. “Belum teknis pembuatannya yang juga perlu proses pembelajaran.”
Bibit Lokal
Menyangkut bibit padi organik yang digunakan, Kasiadi menyatakan, seharusnya verietas unggul lokal, di mana selain produksinya tinggi juga memiliki rasa nasi yang enak. Saat ini, kata dia, ketersediaan bibit padi unggul lokal ini relatif sulit didapat karena memang sudah tergolong langka. “Sehingga jika diperlukan dalam jumlah massal dalam satuan waktu tertentu tidak tersedia.”
Dari hasil kegiatan pemuliaan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Malang, hingga kini sudah berhasil mengumpulkan sekitar 100 varietas padi unggul lokal yang ada di Jawa a.l. varietas Jawa, Bengawan, Tumpang, Wangi, Gilirang, Fatmawati, Selanggeng, hingga Bagus. “Proyek pertanian organik ini selain untuk meningkatkan pendapatan petani juga pelestarian terhadap varietas tanaman unggul lokal.”
Dalam mengembangkan pasar, kata dia, harus ada pihak ketiga yang menjadi pioneer. “Lebih baik kalau pihak ketiga ini merupakan perusahaan yang cukup kuat modalnya dan memiliki jaringan distribusi luas, sehingga jaminan pemasaran bisa terjaga.”
Syukur mereka juga bersedia menjadi bapak angkat bagi petani produsen dengan memberi pinjaman modal kerja dengan skema yang saling menguntungkan, tambahnya. Pengalaman yang dijalin petani padi di Lumajang dengan Koperasi Pertanian Nusantara patut dijadikan kajian untuk menjalin kerja sama serupa dengan pengusaha lainnya. Tanpa begitu, pihaknya yakin, prospek bagus beras organik tidak akan bisa tergarap secara optimal. (Bambang Sutejo, praktisi pertanian )