Pemkab Ngawi menuju pertanian organik tidaklah keliru. Sebagai akibat petani berkeinginan panen berlimpah lalu menggunakan pupuk dengan jumlah sangat besar, akan mengakibatkan lahan menjadi kritis karena berkurangnya unsur hara.
Sementara, hasil tanaman pangan di kabupaten ini menjadi andalan utama dan merupakan salah satu penghasil padi terbesar di Provinsi Jawa Timur (Jatim). Bahkan pada tahun 2005, hasil panen menempati urutan ketiga di provinsi ini setelah Kabupaten Banyuwangi dan Jombang.
"Kita selalu surplus sekitar dua per tiga hasil panen setiap tahunnya. Untuk konsumsi masyarakat Ngawi sendiri maksimal hanya sepertiga," ujar Ir Marsudi, Kabid Produksi Tanaman Pangan Ir Marsudi.
Pada tahun 2005 ini, dari luas tanam sekitar 99.606 ha dengan luas panen 95.386 ha, produksi pada gabah kering giling mencapai 559.399,80 ton atau rata-rata setiap hektare menghasilkan 58,65 kwintal. "Dari jumlah itu, dua pertiganya adalah angka surplus," ujar Ir Marsudi.
Empat dari 19 kecamatan di Kabupaten Ngawi yang merupakan lumbung padi di daerah ini, yakni Kecamatan Geneng dengan rata-rata produksi padi 69.672 ton gabah kering giling (GKG)/tahun, disusul Kecamatan Paron dengan produksi 59.640 ton GKG/tahun dan Kecamatan Kedunggalar 62.021 ton GKG/tahun serta Kecamatan Widodaren dengan produksi 55.020 ton GKG/tahun.
Untuk terus menjaga produksi beras yang menjadi andalan di Provinsi Jatim tapi kondisi tanah tidak rusak, maka Pemkab Ngawi yang memiliki sasaran hasil tanaman pangan ini naik dua persen terus menerus mengarahkan para petani lewat kelompok-kelompok tani untuk beralih menuju pertanian organik yang ramah lingkungan.
Dari beberapa kelompok tani yang sudah mencoba mengkombinasikan pupuk organik dan anorganik ternyata mampu menghasilkan hasil 10-11 ton/ha. "Sebenarnya banyak yang produksi per hektarenya mencapai sembilan ton ke atas," ujar Ir Dwi Ningrum, Kabid Perencanaan dan Pengendalian Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Pemkab Ngawi.
Dia menambahkan, kalau tanah sudah kembali normal maka hasil produksinya dapat meningkat dengan baik. Sekarang ini yang masih terjadi, petani menggunakan pupuk organik dan anorganik dengan jumlah banyak untuk meningkatkan hasil produksi.
Oleh karena itulah, sejak tiga tahun terakhir pada kelompok tani terus menerus diberi pelatihan untuk menggunakan pupuk organik maupun pestisida alami yang ramah lingkungan. Hingga 2004, sepertiga kelompok tani sudah mengikuti pelatihan ini.
Selain itu, Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura juga melarang para petani untuk membuat sumur dangkal (pantek) lagi guna mengairi sawahnya. "Kita kan tidak ingin lingkungan kita semakin rusak," ujar Ir Dwi.
Untuk itu, para petani secara perlahan mulai diberi arahan untuk mengubah pola tanam, yakni padi-padi-palawija (musim kemarau). Sebelumnya, para petani menanam dengan pola padi-padi-padi.
"Kalau mereka kekurangan air, khususnya di daerah lebih atas, maka akhirnya akan menuruti pola yang kita harapkan. Hasilnya bagus dan tidak merusak tanah, apalagi palawija itu kan sedikit menggunakan pupuk dan masih bisa menggunakan pupuk sebelumnya yang untuk padi ditambah pupuk organik," ujar Ir Marsudi.
Hingga kini, hasil produksi padi di Kabupaten Ngawi menjadi incaran para pedagang beras dari kota-kota di Jatim dan Jateng. Apalagi, musim tanam dan panen lebih awal sebulan di banding kota-kota lain.
Musim tanam dan panenan lebih awal ini sebetulnya untuk menjaga harga gabah turun, namun kenyataannya stabilitas untuk mencegah harga gabah anjlok itu belum bisa teratasi. "Kita sampai menyimpan hasil panen ke Jombang," kata Ir Dwi. (Suara Karya Online, 8 Mei 2006)
Sementara, hasil tanaman pangan di kabupaten ini menjadi andalan utama dan merupakan salah satu penghasil padi terbesar di Provinsi Jawa Timur (Jatim). Bahkan pada tahun 2005, hasil panen menempati urutan ketiga di provinsi ini setelah Kabupaten Banyuwangi dan Jombang.
"Kita selalu surplus sekitar dua per tiga hasil panen setiap tahunnya. Untuk konsumsi masyarakat Ngawi sendiri maksimal hanya sepertiga," ujar Ir Marsudi, Kabid Produksi Tanaman Pangan Ir Marsudi.
Pada tahun 2005 ini, dari luas tanam sekitar 99.606 ha dengan luas panen 95.386 ha, produksi pada gabah kering giling mencapai 559.399,80 ton atau rata-rata setiap hektare menghasilkan 58,65 kwintal. "Dari jumlah itu, dua pertiganya adalah angka surplus," ujar Ir Marsudi.
Empat dari 19 kecamatan di Kabupaten Ngawi yang merupakan lumbung padi di daerah ini, yakni Kecamatan Geneng dengan rata-rata produksi padi 69.672 ton gabah kering giling (GKG)/tahun, disusul Kecamatan Paron dengan produksi 59.640 ton GKG/tahun dan Kecamatan Kedunggalar 62.021 ton GKG/tahun serta Kecamatan Widodaren dengan produksi 55.020 ton GKG/tahun.
Untuk terus menjaga produksi beras yang menjadi andalan di Provinsi Jatim tapi kondisi tanah tidak rusak, maka Pemkab Ngawi yang memiliki sasaran hasil tanaman pangan ini naik dua persen terus menerus mengarahkan para petani lewat kelompok-kelompok tani untuk beralih menuju pertanian organik yang ramah lingkungan.
Dari beberapa kelompok tani yang sudah mencoba mengkombinasikan pupuk organik dan anorganik ternyata mampu menghasilkan hasil 10-11 ton/ha. "Sebenarnya banyak yang produksi per hektarenya mencapai sembilan ton ke atas," ujar Ir Dwi Ningrum, Kabid Perencanaan dan Pengendalian Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Pemkab Ngawi.
Dia menambahkan, kalau tanah sudah kembali normal maka hasil produksinya dapat meningkat dengan baik. Sekarang ini yang masih terjadi, petani menggunakan pupuk organik dan anorganik dengan jumlah banyak untuk meningkatkan hasil produksi.
Oleh karena itulah, sejak tiga tahun terakhir pada kelompok tani terus menerus diberi pelatihan untuk menggunakan pupuk organik maupun pestisida alami yang ramah lingkungan. Hingga 2004, sepertiga kelompok tani sudah mengikuti pelatihan ini.
Selain itu, Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura juga melarang para petani untuk membuat sumur dangkal (pantek) lagi guna mengairi sawahnya. "Kita kan tidak ingin lingkungan kita semakin rusak," ujar Ir Dwi.
Untuk itu, para petani secara perlahan mulai diberi arahan untuk mengubah pola tanam, yakni padi-padi-palawija (musim kemarau). Sebelumnya, para petani menanam dengan pola padi-padi-padi.
"Kalau mereka kekurangan air, khususnya di daerah lebih atas, maka akhirnya akan menuruti pola yang kita harapkan. Hasilnya bagus dan tidak merusak tanah, apalagi palawija itu kan sedikit menggunakan pupuk dan masih bisa menggunakan pupuk sebelumnya yang untuk padi ditambah pupuk organik," ujar Ir Marsudi.
Hingga kini, hasil produksi padi di Kabupaten Ngawi menjadi incaran para pedagang beras dari kota-kota di Jatim dan Jateng. Apalagi, musim tanam dan panen lebih awal sebulan di banding kota-kota lain.
Musim tanam dan panenan lebih awal ini sebetulnya untuk menjaga harga gabah turun, namun kenyataannya stabilitas untuk mencegah harga gabah anjlok itu belum bisa teratasi. "Kita sampai menyimpan hasil panen ke Jombang," kata Ir Dwi. (Suara Karya Online, 8 Mei 2006)