Sejumlah riset menunjukkan sayuran dan buah-buahan mengandung lusinan jenis zat berbahaya. Walhasil, rasanya benar apa yang dilontarkan oleh aktor Hollywood, Aaron Eckhart, dalam film Thank You for Smoking. Dia menyatakan, label berbahaya seharusnya tidak hanya tertera pada rokok, tapi juga sayuran dan buah-buahan yang jelas-jelas mengandung pestisida. Bahkan juga jenis minuman dan makanan yang, meski sudah dicap aman untuk kesehatan, tak lepas dari bahaya, seperti susu dari Tiongkok yang mengandung melamin, dan mi plus formalin.
Pilihan pun jadi serba sulit. Niat sehat tak selalu berbuah manis. Para ilmuwan dari National Academy of Science, Amerika Serikat, pun mengungkapkan bahwa jenis pestisida, yakni organofosfat, organoklorin, serta kombinasinya, dalam jangka panjang terbukti menyebabkan kerusakan sistem saraf, gangguan hormon, cacat pada janin, kanker, dan mengganggu sistem imun dalam tubuh.
Tak mengherankan, masyarakat di perkotaan pun ramai-ramai melirik produk berlabel organik. Bahkan di negara maju, tingkat pembelian produk jenis ini melonjak. Di Negeri Abang Sam, industri organik tumbuh 17-20 persen per tahun. Sedangkan pertumbuhan industri makanan konvensional hanya berkisar 2-3 persen per tahun lantaran warga negeri tersebut menggunakan 50-100 persen bahan organik untuk kebutuhan dapurnya.
Benarkah semua harus serba organik? Sejumlah pakar menemukan sejumlah buah-buahan dan sayuran yang mengandung bahan kimia. Meski dicuci, tetap mengandung level residu pestisida yang tinggi, terutama pada apel, anggur, bayam, dan kentang. Namun, hal itu tidak berlaku bagi jenis lain, seperti pisang, mangga, atau jagung. Artinya, kita tak harus mencomot yang serba organik. Dengan rata-rata harga bahan organik yang lebih tinggi, ada baiknya kita pintar-pintar berstrategi.
Ahli terapis organik dari Healthy Choice Kemang, Angela Ardhianie, menyebutkan definisi sederhana produk organik, yakni produk yang pada proses penanaman (sayuran) dan pengolahannya (daging) tidak menggunakan bahan kimia atau zat-zat berbahaya. Namun, Angela mengakui, masih ada kekurangan pada produk organik, misalnya bentuk sayuran yang tidak menarik dan banyak yang berlubang karena dimakan ulat dan serangga. "Predator memang dibiarkan memakan sayuran itu," paparnya dalam acara "Demo Masak Menggunakan Material Organik", di Pacific Place, Jumat lalu. Belum lagi, dalam prosesnya, butuh tenaga manusia yang lebih banyak buat pengawasan dan waktu yang lebih lama.
Sebenarnya, kata Angela, istilah makanan organik itu tidak sepenuhnya mengacu pada obyek makanan, tapi lebih spesifik lagi, karena menyangkut gaya hidup dalam pengolahan makanan mentah menjadi siap saji. Contoh riilnya, banyak orang tetap menggunakan panci atau wajan berlapis teflon yang sudah terkelupas atau tergores. Kondisi ini, menurut dia, sangat berbahaya karena gas bakal tembus ke makanan dan sangat mungkin masuk ke perut. "Bisa mengakibatkan brain damage dan kanker ginjal," ucapnya.
Masyarakat Indonesia juga masih sering mengkonsumsi makanan yang berulang-ulang dihangatkan. "Dimasak, digoreng, direbus, kemudian dipanasi lagi esoknya. Bahkan ada yang berhari-hari," ujar Angela. Karena itu, kata dia, masyarakat sudah harus menaruh perhatian pada pilihan makanan. Dua ribu tahun yang lalu, figur medis terkemuka sepanjang sejarah, Hippocrates, pernah mengungkapkan, makanan itu menjadi obat Anda dan biarkan obat menjadi makanan Anda. Jadi sekarang, semua itu terpulang pada masing-masing orang.
Pilihan pun jadi serba sulit. Niat sehat tak selalu berbuah manis. Para ilmuwan dari National Academy of Science, Amerika Serikat, pun mengungkapkan bahwa jenis pestisida, yakni organofosfat, organoklorin, serta kombinasinya, dalam jangka panjang terbukti menyebabkan kerusakan sistem saraf, gangguan hormon, cacat pada janin, kanker, dan mengganggu sistem imun dalam tubuh.
Tak mengherankan, masyarakat di perkotaan pun ramai-ramai melirik produk berlabel organik. Bahkan di negara maju, tingkat pembelian produk jenis ini melonjak. Di Negeri Abang Sam, industri organik tumbuh 17-20 persen per tahun. Sedangkan pertumbuhan industri makanan konvensional hanya berkisar 2-3 persen per tahun lantaran warga negeri tersebut menggunakan 50-100 persen bahan organik untuk kebutuhan dapurnya.
Benarkah semua harus serba organik? Sejumlah pakar menemukan sejumlah buah-buahan dan sayuran yang mengandung bahan kimia. Meski dicuci, tetap mengandung level residu pestisida yang tinggi, terutama pada apel, anggur, bayam, dan kentang. Namun, hal itu tidak berlaku bagi jenis lain, seperti pisang, mangga, atau jagung. Artinya, kita tak harus mencomot yang serba organik. Dengan rata-rata harga bahan organik yang lebih tinggi, ada baiknya kita pintar-pintar berstrategi.
Ahli terapis organik dari Healthy Choice Kemang, Angela Ardhianie, menyebutkan definisi sederhana produk organik, yakni produk yang pada proses penanaman (sayuran) dan pengolahannya (daging) tidak menggunakan bahan kimia atau zat-zat berbahaya. Namun, Angela mengakui, masih ada kekurangan pada produk organik, misalnya bentuk sayuran yang tidak menarik dan banyak yang berlubang karena dimakan ulat dan serangga. "Predator memang dibiarkan memakan sayuran itu," paparnya dalam acara "Demo Masak Menggunakan Material Organik", di Pacific Place, Jumat lalu. Belum lagi, dalam prosesnya, butuh tenaga manusia yang lebih banyak buat pengawasan dan waktu yang lebih lama.
Sebenarnya, kata Angela, istilah makanan organik itu tidak sepenuhnya mengacu pada obyek makanan, tapi lebih spesifik lagi, karena menyangkut gaya hidup dalam pengolahan makanan mentah menjadi siap saji. Contoh riilnya, banyak orang tetap menggunakan panci atau wajan berlapis teflon yang sudah terkelupas atau tergores. Kondisi ini, menurut dia, sangat berbahaya karena gas bakal tembus ke makanan dan sangat mungkin masuk ke perut. "Bisa mengakibatkan brain damage dan kanker ginjal," ucapnya.
Masyarakat Indonesia juga masih sering mengkonsumsi makanan yang berulang-ulang dihangatkan. "Dimasak, digoreng, direbus, kemudian dipanasi lagi esoknya. Bahkan ada yang berhari-hari," ujar Angela. Karena itu, kata dia, masyarakat sudah harus menaruh perhatian pada pilihan makanan. Dua ribu tahun yang lalu, figur medis terkemuka sepanjang sejarah, Hippocrates, pernah mengungkapkan, makanan itu menjadi obat Anda dan biarkan obat menjadi makanan Anda. Jadi sekarang, semua itu terpulang pada masing-masing orang.
Tak Selalu Perlu Organik!
Yang wajib
1.Buah-buahan: apel, ceri, anggur, pir, stroberi, raspberi
2.Sayuran: sayuran hijau seperti bayam, kentang.
Tidak Perlu
1.Buah-buahan: pisang, kiwi, mangga, pepaya, nanas.
2.Sayuran: asparagus, alpukat, brokoli, kembang kol, jagung, bawang, kacang polong.
Ragam Organik
1. 100 persen organik. Bila yang tertera dalam kemasan makanan bertulisan seperti itu, berarti bahan-bahan itu benar-benar 100 persen organik.
2. Organik. Bila hanya tercantum satu kata ini, ada kemungkinan kandungan bahan organiknya paling sedikit 95 persen.
3. Mengandung bahan organik. Jika kata-kata ini yang tercantum dalam label, kandungan bahan organiknya sekitar 75 persen.
Standar Makanan Organik
1. Bebas pestisida
2. Tanpa penyubur tanaman yang terbuat dari bahan sintetis atau limbah.
3. Bebas herbisida.
4. Tanpa antibiotik.
5. Menggunakan teknik pengolahan alami.
6. Tanpa tambahan hormon.
7. Tidak menggunakan radiasi.
(Koran Tempo, 28 Oktober 2008)