Bertempat di Kompleks Studio Audio Visual Puskat, Yogyakarta para delegatus sosial Keuskupan se-Indonesia menghadiri acara Temu Delsos-Hari Pangan Sedunia, yang diadakan Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi Konferensi Waligereja Indonesia. Acara yang berlangsung pada 20-24 Oktober 2009 tersebut mengambil tema, Kedaulatan Pangan, Petani Sebagai Subyek.
Acara diawali dengan misa pembukaan yang dipimpin oleh selebran utama, Mgr. Petrus Turang, selaku Ketua Komisi PSE KWI, didampingi Rm. St. Bijanta, CM, Sekertaris Komisi PSE-KWI dan Rm. Rosarius Sapto Nugroho, Pr. Setelah santap malam bersama, Mgr. Petrus Turang menyampaikan paparan tentang Spiritualitas Hari Pangan Sedunia. Menurut beliau, gerakan HPS relevan dengan semangat kemurahan hati, belarasa dan solidaritas yang diteladankan Yesus sendiri. “Usaha ini memang tidak semudah karya karitatif, maka perlu dijalin kerjasama dengan siapapun, termasuk pendekatan kepada para pastor paroki, juga lembaga lain dalam Gereja seperti WKRI,Yayasan Pendidikan, Komisi Komunikasi Sosial serta siapapun yang berkehendak baik seperti para pemilik modal atau pemerintah”.
Pada hari kedua, Prof.Dr. Susetiawan, Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan, Universitas Gadjah Mada menyampaikan makalah, Meninjau Kembali Otonomi Desa, Kedaulatan Pangan dan Pemberdayaan. Beliau menyatakan bahwa saat ini kita berada dalam cengkeraman kekuatan ekonomi Internasional dalam arus neoliberalisme. Dampaknya, kehidupan publik tunduk pada logika pasar dan privatisasi. Seluruh kehidupan menjadi sumber demi laba korporasi sehingga kualitas kesejahteraan umum diabaikan. Perusahaan-perusahaan multinasional dan transnasional memojokkan negara berkembang sehingga kedaulatan negara terabaikan. Bentuknya antara lain, penghapusan dan pemotongan subsidi yang menjadikan petani sebagai korban dan dikorbankan. Martabat manusia pun direndahkan.
Pada sesi berikut, peserta yang terbadi dalam kelompok diajak untuk merefleksikan keadaan tersebut dengan beberapa elemen penting dalam kehidupan petani. Hasilnya, aneka poin penting yang harus diperhatikan jika hendak menuju kedaulatan pangan dan menempatkan petani sebagai subyek. Antara lain: perlunya memperkuat posisi petani dengan jejaring yang semakin solid di wilayah masing-masing, pengembangan kapasitas petani, animasi dengan memberikan Roh, semangat dan motivasi gerakan pertanian hingga advokasi yang membela posisi tawar petani, juga keberadaan benih serta spiritualitas.
Pada hari ketiga, Rm. Teguh Santosa, Pr, merangkum proses yang berjalan menjadi pijakan diskusi. Ia mengajak peserta memiliki persepsi yang sama bahwa kompetensi Gereja dalam rangka kedaulatan petani tak lain adalah kompetensi etis, yang membedakan dengan kompetensi teknis para penyuluh pertanian. Menghadapi petani yang tak berdaya dan sekedar menjadi obyek pembangunan, maka perlu kompetensi etis para delsos, sebagai animator dan fasilitator agar petani menjadi subyek.
Dalam paparan kelompok tentang kepemimpinan menjadi animator dan fasilitator ditemukan beberapa kata kunci, perlunya sikap dasar rendah hati, tidak menyerah, bertanggung jawab, menguasai materi, menghargai budaya, netral, peka, sabar, mampu menggalang gerakan, membuat komitmen serta kemampuan analisa dan refleksi. Pula, perlunya kemampuan dalam memfasilitasi yaitu, mampu memformulasikan, mengkristalisasi agar temuan mudah dipahami, mengatur waktu, menggunakan metode, merumuskan sasaran serta melakukan pelaporan, evaluasi.
Pada hari keempat, proses yang ditempuh untuk menempatkan petani menjadi subyek ialah dengan melalukan analisa SWOT, baik secara internal dan eksternal disertai rekomendasi dan program bagi setiap Keuskupan. Masing-masing regio berkumpul dan melakukan analisa sesuai dengan keadaan nyata di tempatnya.
Para utusan Komis PSE Keuskupan Regio Jawa dalam analisanya menemukan beberapa hal. Kekuatannya: sumber daya Gereja hirarkis dengan jaringan meluas sampai ke bawah, refleksi iman menjadikan concern pertanian organik sebagai yang terbaik, sumber daya modal: memiliki Credit Union sumber modal yang bisa diakses untuk pertanian organik, produk organik dibutuhkan manusia (trend organik), daya serap pasar tinggi, harga jual produk bersaing, quality control menjamin kepercayaan konsumen dengan adanya kode petani / tanggal kemas.
Kelemahannya, sumber daya Gereja memahami pertanian organik secara beragam, concern pertanian organik belum terkomunikasikan secara luas dan tepat, kurangnya komunikator dan bahan sosialisasi pertanian organik tidak menyebut soal gaya hidup sehat dan keberpihakkan pada petani. Dan lagi, budaya makan instant, junk food, menjadikan produk pertanian organik sebagai makanan kelas dua
Peluang yang ada antara lain: sumber daya petani memiliki etos kerja pantang menyerah, fasilitator yang mengkomunikasikan pertanian organik dengan menarik. Sementara dari sumber daya petani masih berpikir soal ekonomis jangka pendek, belum soal essensi pertanian organik demi kelestarian dan keutuhan ciptaan. Sedangkan yang turut mendukung ialah program pemerintah di bidang pertanian berupa akses dana, pelatihan, pengembangan sumberdaya serta fasilitator dan sistem pemerintahan yang dapat dipakai untuk menyuarakan pertanian organik. Selain kebutuhan pangan masih tinggi, geliat trend budaya kembali ke kearifan lokal dan gaya hidup sehat, didukung pula dengan pengembangan teknologi tepat guna berbasis kearifan lokal.
Beberapa yang ditemukan sebagai ancaman gerakan pertanian organik yang menempatkan petani sebagai subyek adalah, sumber daya modal kurang, lahan sempit karena pewarisan tanah tidak digunakan untuk lahan pertanian, kebijakan pemerintahan yang membuat petani tidak independen seperti import bahan pangan, sikap perusahaan besar mengobyekkan petani menjadi sekedar plasma, memonopoli pasar, mematikan kemandirian petani, konsumen yang mengeluh produk organik harganya mahal, kesinambungan stok lemah, pemalsuan produk yang menurunkan kepercayaan konsumen, tidak adanya standar quality control, budaya konsumerisme yang menganggap trendy makanan instant, menjadikan makanan organik dan lokal sebagai makanan kelas dua. Dan teknologi pertanian tercerabut dari petani dan menjadi sarana bisnis dari para penguasa dan pemilik modal.
Dari berbagai paparan tersebut direkomendasikan beberapa keputusan penting, ialah: perlunya Nota Pastoral tentang Pangan yang sehat dan berkeadilan, menciptakan para animator, fasilitator yang mampu mengkomunikasikan gerakan pertanian organik secara menarik, mendorong Credit Union agar melayani kebutuhan para petani, memperbanyak produsen / produk pertanian sehat untuk memenuhi kesinambungan stok dengan pemanfaatan teknologi berbasis kearifan lokal dan mengembangkan jaringan antar produsen produk pertanian sehat untuk memenuhi ketersediaan pangan sehat. (A. Luluk Widyawan, Pr)
Acara diawali dengan misa pembukaan yang dipimpin oleh selebran utama, Mgr. Petrus Turang, selaku Ketua Komisi PSE KWI, didampingi Rm. St. Bijanta, CM, Sekertaris Komisi PSE-KWI dan Rm. Rosarius Sapto Nugroho, Pr. Setelah santap malam bersama, Mgr. Petrus Turang menyampaikan paparan tentang Spiritualitas Hari Pangan Sedunia. Menurut beliau, gerakan HPS relevan dengan semangat kemurahan hati, belarasa dan solidaritas yang diteladankan Yesus sendiri. “Usaha ini memang tidak semudah karya karitatif, maka perlu dijalin kerjasama dengan siapapun, termasuk pendekatan kepada para pastor paroki, juga lembaga lain dalam Gereja seperti WKRI,Yayasan Pendidikan, Komisi Komunikasi Sosial serta siapapun yang berkehendak baik seperti para pemilik modal atau pemerintah”.
Pada hari kedua, Prof.Dr. Susetiawan, Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan, Universitas Gadjah Mada menyampaikan makalah, Meninjau Kembali Otonomi Desa, Kedaulatan Pangan dan Pemberdayaan. Beliau menyatakan bahwa saat ini kita berada dalam cengkeraman kekuatan ekonomi Internasional dalam arus neoliberalisme. Dampaknya, kehidupan publik tunduk pada logika pasar dan privatisasi. Seluruh kehidupan menjadi sumber demi laba korporasi sehingga kualitas kesejahteraan umum diabaikan. Perusahaan-perusahaan multinasional dan transnasional memojokkan negara berkembang sehingga kedaulatan negara terabaikan. Bentuknya antara lain, penghapusan dan pemotongan subsidi yang menjadikan petani sebagai korban dan dikorbankan. Martabat manusia pun direndahkan.
Pada sesi berikut, peserta yang terbadi dalam kelompok diajak untuk merefleksikan keadaan tersebut dengan beberapa elemen penting dalam kehidupan petani. Hasilnya, aneka poin penting yang harus diperhatikan jika hendak menuju kedaulatan pangan dan menempatkan petani sebagai subyek. Antara lain: perlunya memperkuat posisi petani dengan jejaring yang semakin solid di wilayah masing-masing, pengembangan kapasitas petani, animasi dengan memberikan Roh, semangat dan motivasi gerakan pertanian hingga advokasi yang membela posisi tawar petani, juga keberadaan benih serta spiritualitas.
Pada hari ketiga, Rm. Teguh Santosa, Pr, merangkum proses yang berjalan menjadi pijakan diskusi. Ia mengajak peserta memiliki persepsi yang sama bahwa kompetensi Gereja dalam rangka kedaulatan petani tak lain adalah kompetensi etis, yang membedakan dengan kompetensi teknis para penyuluh pertanian. Menghadapi petani yang tak berdaya dan sekedar menjadi obyek pembangunan, maka perlu kompetensi etis para delsos, sebagai animator dan fasilitator agar petani menjadi subyek.
Dalam paparan kelompok tentang kepemimpinan menjadi animator dan fasilitator ditemukan beberapa kata kunci, perlunya sikap dasar rendah hati, tidak menyerah, bertanggung jawab, menguasai materi, menghargai budaya, netral, peka, sabar, mampu menggalang gerakan, membuat komitmen serta kemampuan analisa dan refleksi. Pula, perlunya kemampuan dalam memfasilitasi yaitu, mampu memformulasikan, mengkristalisasi agar temuan mudah dipahami, mengatur waktu, menggunakan metode, merumuskan sasaran serta melakukan pelaporan, evaluasi.
Pada hari keempat, proses yang ditempuh untuk menempatkan petani menjadi subyek ialah dengan melalukan analisa SWOT, baik secara internal dan eksternal disertai rekomendasi dan program bagi setiap Keuskupan. Masing-masing regio berkumpul dan melakukan analisa sesuai dengan keadaan nyata di tempatnya.
Para utusan Komis PSE Keuskupan Regio Jawa dalam analisanya menemukan beberapa hal. Kekuatannya: sumber daya Gereja hirarkis dengan jaringan meluas sampai ke bawah, refleksi iman menjadikan concern pertanian organik sebagai yang terbaik, sumber daya modal: memiliki Credit Union sumber modal yang bisa diakses untuk pertanian organik, produk organik dibutuhkan manusia (trend organik), daya serap pasar tinggi, harga jual produk bersaing, quality control menjamin kepercayaan konsumen dengan adanya kode petani / tanggal kemas.
Kelemahannya, sumber daya Gereja memahami pertanian organik secara beragam, concern pertanian organik belum terkomunikasikan secara luas dan tepat, kurangnya komunikator dan bahan sosialisasi pertanian organik tidak menyebut soal gaya hidup sehat dan keberpihakkan pada petani. Dan lagi, budaya makan instant, junk food, menjadikan produk pertanian organik sebagai makanan kelas dua
Peluang yang ada antara lain: sumber daya petani memiliki etos kerja pantang menyerah, fasilitator yang mengkomunikasikan pertanian organik dengan menarik. Sementara dari sumber daya petani masih berpikir soal ekonomis jangka pendek, belum soal essensi pertanian organik demi kelestarian dan keutuhan ciptaan. Sedangkan yang turut mendukung ialah program pemerintah di bidang pertanian berupa akses dana, pelatihan, pengembangan sumberdaya serta fasilitator dan sistem pemerintahan yang dapat dipakai untuk menyuarakan pertanian organik. Selain kebutuhan pangan masih tinggi, geliat trend budaya kembali ke kearifan lokal dan gaya hidup sehat, didukung pula dengan pengembangan teknologi tepat guna berbasis kearifan lokal.
Beberapa yang ditemukan sebagai ancaman gerakan pertanian organik yang menempatkan petani sebagai subyek adalah, sumber daya modal kurang, lahan sempit karena pewarisan tanah tidak digunakan untuk lahan pertanian, kebijakan pemerintahan yang membuat petani tidak independen seperti import bahan pangan, sikap perusahaan besar mengobyekkan petani menjadi sekedar plasma, memonopoli pasar, mematikan kemandirian petani, konsumen yang mengeluh produk organik harganya mahal, kesinambungan stok lemah, pemalsuan produk yang menurunkan kepercayaan konsumen, tidak adanya standar quality control, budaya konsumerisme yang menganggap trendy makanan instant, menjadikan makanan organik dan lokal sebagai makanan kelas dua. Dan teknologi pertanian tercerabut dari petani dan menjadi sarana bisnis dari para penguasa dan pemilik modal.
Dari berbagai paparan tersebut direkomendasikan beberapa keputusan penting, ialah: perlunya Nota Pastoral tentang Pangan yang sehat dan berkeadilan, menciptakan para animator, fasilitator yang mampu mengkomunikasikan gerakan pertanian organik secara menarik, mendorong Credit Union agar melayani kebutuhan para petani, memperbanyak produsen / produk pertanian sehat untuk memenuhi kesinambungan stok dengan pemanfaatan teknologi berbasis kearifan lokal dan mengembangkan jaringan antar produsen produk pertanian sehat untuk memenuhi ketersediaan pangan sehat. (A. Luluk Widyawan, Pr)