Beras organik yang diminati saat ini dan bisa dipasarkan dengan harga tinggi adalah jenis aromatik yang baunya harum. Ini yang mestinya dipahami para petani yang akan beralih dari bertanam padi secara anorganik, menjadi secara organik.
Padi jenis aromatik tersebut, antara lain mentik wangi, rojolele, dan pandan wangi. Walau pertaniannya dilakukan total secara organik, namun padi yang ditanam bukan jenis aromatik, maka hasilnya (beras) tetap susah dijual di pasaran.
"Misalnya petani menanam beras IR secara organik, harga jualnya pun tetap sama seperti beras IR yang ditanam secara anorgani," ujar Edy Suharyanta, Kepala Dinas Pertanian Bantul, di sela-sela panen padi organik di Jayan, Imogiri, Kamis (2/4).
Sebaliknya, lanjut Edy, jika berasnya dari padi aromatik tetapi menanamnya secara anorganik, pedagang bisa mengaku berasnya organik dan pembeli pun percaya. Fenomena ini aneh, tapi memang demikian. Artinya, petani mesti menangkap peluang ini.
Dari 16.200 hektar sawah di Bantul, hanya 1,5 persen atau 250 hektar yang menerapkan pertanian organik. Sisanya, masih pertanian yang memakai pupuk dan pestisida kimia. Lambat laun, tanah yang selalu diberi pupuk kimia akan berkurang kesuburannya.
Agung Gunawan, Ketua Masyarakat Pertanian Organik DIY mengatakan, permintaan beras organik cenderung meningkat, terutama di kota-kota besar. Ini adalah peluang. Tinggal bagaimana mengubah cara pandang petani, agar pendapatan mereka meningkat.
Gabah dari padi aromatik yang ditanam organik harganya bisa Rp 2.700 per kg kering panen. Berasnya bisa dijual ke distributor Rp 5.800-Rp 6.000 per kg. Setelah dibersihkan dan dikemas rapi, di pasaran minimal Rp 7.000 per kg. "Bandingkan dengan padi jenis IR (ditanam organik dan anorganik) yang gabah keringnya hanya laku Rp 2.100 per kg, dan berasnya hanya laku Rp 5.000-an," ujar Agung yang juga pimpinan PT MAS (bergerak dalam pertanian organik, termasuk sebagai distributor beras organik).
Ngatijo, Ketua kelompok Tani Madya di Jayan, mengatakan, sebanyak 10 hektar sawah di dusunnya sudah menerapkan 100 persen pertanian organik setahun lalu. Mereka menanam padi jenis IR. Menurut dia, ke depan, jika prospek menguntungan, petani jelas mau menanam padi aromatik. Perlahan, pertanian organik bisa dipahamkan pada petani, karena hasilnya terbukti bagus.
"Pada panen awal jika menerapan pertanian organik, hasilnya tak sebanyak jika memakai pupuk kimia. Tapi perlahan, panen meningkat. Nasi dari beras organik juga lebih pulen dan tahan lama. Petani tentu mau beralih ke organik. Yang kami butuhkan adalah jaminan padi kami dibeli dengan harga tingi, jika kami menanam secara organik. Selama ini, panenan kami makan sendiri dan sisanya dijual," ujar Ngatijo. (Kompas, 2 April 2009)
Padi jenis aromatik tersebut, antara lain mentik wangi, rojolele, dan pandan wangi. Walau pertaniannya dilakukan total secara organik, namun padi yang ditanam bukan jenis aromatik, maka hasilnya (beras) tetap susah dijual di pasaran.
"Misalnya petani menanam beras IR secara organik, harga jualnya pun tetap sama seperti beras IR yang ditanam secara anorgani," ujar Edy Suharyanta, Kepala Dinas Pertanian Bantul, di sela-sela panen padi organik di Jayan, Imogiri, Kamis (2/4).
Sebaliknya, lanjut Edy, jika berasnya dari padi aromatik tetapi menanamnya secara anorganik, pedagang bisa mengaku berasnya organik dan pembeli pun percaya. Fenomena ini aneh, tapi memang demikian. Artinya, petani mesti menangkap peluang ini.
Dari 16.200 hektar sawah di Bantul, hanya 1,5 persen atau 250 hektar yang menerapkan pertanian organik. Sisanya, masih pertanian yang memakai pupuk dan pestisida kimia. Lambat laun, tanah yang selalu diberi pupuk kimia akan berkurang kesuburannya.
Agung Gunawan, Ketua Masyarakat Pertanian Organik DIY mengatakan, permintaan beras organik cenderung meningkat, terutama di kota-kota besar. Ini adalah peluang. Tinggal bagaimana mengubah cara pandang petani, agar pendapatan mereka meningkat.
Gabah dari padi aromatik yang ditanam organik harganya bisa Rp 2.700 per kg kering panen. Berasnya bisa dijual ke distributor Rp 5.800-Rp 6.000 per kg. Setelah dibersihkan dan dikemas rapi, di pasaran minimal Rp 7.000 per kg. "Bandingkan dengan padi jenis IR (ditanam organik dan anorganik) yang gabah keringnya hanya laku Rp 2.100 per kg, dan berasnya hanya laku Rp 5.000-an," ujar Agung yang juga pimpinan PT MAS (bergerak dalam pertanian organik, termasuk sebagai distributor beras organik).
Ngatijo, Ketua kelompok Tani Madya di Jayan, mengatakan, sebanyak 10 hektar sawah di dusunnya sudah menerapkan 100 persen pertanian organik setahun lalu. Mereka menanam padi jenis IR. Menurut dia, ke depan, jika prospek menguntungan, petani jelas mau menanam padi aromatik. Perlahan, pertanian organik bisa dipahamkan pada petani, karena hasilnya terbukti bagus.
"Pada panen awal jika menerapan pertanian organik, hasilnya tak sebanyak jika memakai pupuk kimia. Tapi perlahan, panen meningkat. Nasi dari beras organik juga lebih pulen dan tahan lama. Petani tentu mau beralih ke organik. Yang kami butuhkan adalah jaminan padi kami dibeli dengan harga tingi, jika kami menanam secara organik. Selama ini, panenan kami makan sendiri dan sisanya dijual," ujar Ngatijo. (Kompas, 2 April 2009)