Makin banyak saja wilayah di Surabaya yang mampu menyulap sampah menjadi barang berharga. Kali ini adalah warga RW XIV Rungkut Lor yang sukses mengubah sampah menjadi kompos. Bukan itu saja. Mereka juga berhasil menjadi produsen keranjang takakura yang ordernya sampai ke luar pulau. Dari 50 ton sampah justru berhasil diolah, sedangkan yang dibuang hanya 2,5 ton sampah.
BISA jadi, RW XIV Rungkut Lor merupakan salah satu RW paling modern di Surabaya. Betapa tidak, RW itu telah mempunyai renstra (rencana strategis) untuk seluruh aspek kehidupan warganya. Masalah drainase, penghijauan, pendidikan, kesehatan, hingga sampah benar-benar dikonsep matang.
Namun, yang paling menonjol pada RW itu adalah pengolahan sampahnya. Berbeda dari Kelurahan Jambangan -yang terkenal dengan sentra daur ulang sampah keringnya-, RW XIV Rungkut Lor fokus pada pengolahan sampah basah menjadi kompos.
Sama seperti Jambangan, warga empat RT, yakni RT 1, 2, 3, dan 4 yang tergabung dalam RW XIV, sudah mempunyai kesadaran sendiri untuk memilah sampah. Karena itu, ada dua tempat sampah di tiap rumah warga, yakni sampah basah (organik) dan sampah kering.
Selanjutnya, tiap hari ada tiga petugas yang mengangkuti sampah-sampah tersebut. Gerobak sampah milik RW XIV Rungkut Lor juga berbeda dari gerobak sampah kebanyakan. Gerobak sampah mereka, baknya disekat menjadi dua bagian. Dapat ditebak, yang satu untuk sampah kering dan satu lagi untuk sampah basah. Sampah kering dikumpulkan untuk dibuang ke TPS (tempat pembuangan sementara), sedangkan sampah basah masuk ke tempat pengolahan warga. Di tempat itu, sampah basah tersebut akan diolah menjadi kompos.
Tepat di ujung gang Rungkut Lor VII, ada lahan seluas sekitar 100 meter persegi yang dijadikan "pabrik" kompos atau warga menyebutnya "rumah kompos". Di situlah perjalanan sampah warga berakhir.
Untuk mengubah sampah basah menjadi kompos, bukan pekerjaan sulit. Awalnya, sampah basah dimasukkan ke keranjang takakura susun -sebuah kotak plastik seperti krat soft drink. Di dalam keranjang itu sudah ada kompos. Perbandingan antara kompos dengan sampah baru adalah 1:1. Tinggal ditambah sekam, sampah basah tersebut dibiarkan selama dua hari agar terurai.
Setelah dua hari, isi keranjang itu dimasukkan mesin giling khusus. Hasil penggilingan tersebut dikumpulkan dalam sebuah ruang. Nah, di dalam ruang itu, proses komposisasi berlangsung. Tiap dua hari sekali, tumpukan sampah yang telah digiling tersebut digeser. "Perjalanan dari hasil gilingan hingga menjadi kompos siap pakai selama 14 hari," jelas Joego Ariefianto, kepala produksi rumah kompos itu.
Untuk apa kompos-kompos tersebut? Warga bisa menggunakannya untuk apa saja. Tapi, warga setempat memanfaatkannya untuk dua hal. Yakni, untuk bahan keranjang takakura baru (yang banyak dibeli warga daerah lain) dan untuk memupuk tanaman di kampung itu.
Dengan metode seperti itu, per bulan, warga RW IX Rungkut Lor bisa memproduksi 48 ton kompos. Bila dirupiahkan, nilainya setara Rp 48 juta (harga pasaran satu kilogram kompos Rp 1.000).
Seperti apa cara kerja keranjang takakura? Keranjang sampah takakura adalah keranjang pengurai sampah organik. Isinya, kompos hasil pengolahan sampah warga, di atasnya diberi semacam filter dari kain -yang juga berisi kompos. Cara membuang sampah organik di tempat sampah takakura itu cukup sederhana. Tumpukan kompos di keranjang tersebut digali dengan sekop, kemudian sampah basah (biasanya berupa sisa-sisa nasi dan sayuran) ditaruh di tengahnya.
Seberapa banyak daya tampung keranjang takakura? Menurut Arief, misalnya keranjang itu dipakai dalam keluarga, sebuah keluarga dengan lima jiwa, tempat sampah tersebut bisa bertahan selama empat bulan (empat bulan baru penuh). Setelah penuh, kompos yang meluber itu dibiarkan di tempat sejuk (terlindung dari hujan dan sinar matahari) selama tiga hari, maka sudah bisa menjadi penyubur tanaman.
Yang terpenting, sampah yang diolah dengan cara itu tidak akan menjadi penyumbang emisi gas buang. "Kalau sampah yang dibuang begitu saja, selain karbondioksida, juga lebih banyak menghasilkan gas metana," ujarnya.
Gas metana adalah salah satu gas yang dianggap paling bertanggung jawab atas terjadinya global warming. Berbeda halnya dengan takakura, yang dihasilkan hanyalah karbondioksida.
Rumah kompos binaan Pusdakota (Pusat Pemberdayaan Masyarakat Kota) Ubaya itu kini menjadi jujugan Dinas Kebersihan se-Jawa Timur, bahkan luar Jawa. Selain belajar, mereka biasanya membeli keranjang takakura yang sudah siap pakai. Mereka, antara lain, berasal dari Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan.
Terakhir, rumah kompos itu baru saja menyelesaikan order pembuatan 6.500 tempat sampah takakura pesanan Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Surabaya. Harganya, tiap keranjang Rp 90 ribu. Untuk order tersebut, Arief mengaku mendapat laba Rp 70 juta.
Kegiatan itu juga mampu menyerap tenaga kerja. "Semua bahannya, mulai tempat sampah, karton, penjahitan kain filter, hingga sekop, semua produksi dari kelompok-kelompok informal yang kurang beruntung. Misalnya, kelompok stren kali dan kaum difabel (cacat, Red)," ungkapnya. Contohnya, sekop takakura yang dibuat kelompok stren kali.
Selain berdampak sosial positif dan menyerap banyak tenaga kerja, pengolahan sampah tersebut bisa mengurangi timbunan sampah di LPA (lahan pembuangan akhir). Menurut Arief, tiap bulan, RW-nya rata-rata menghasilkan 50 ton sampah. Di antara jumlah itu, yang benar-benar disetor ke LPA hanya 2,5 ton. "Bayangkan kalau tiap kelurahan mempunyai pengolahan seperti ini. Umur LPA bisa semakin panjang belasan tahun," tegasnya.
Sekilas, sistem pembuangan sampah ala RW XIV tersebut gampang diadopsi dan bisa langsung sukses. Namun, seperti lazimnya dalam kisah sukses, tetap saja awal-awal babat alas selalu sengsara.
Menurut Habib, ketua RW XIV, perjuangan itu dimulai sejak delapan tahun lalu. "Tepatnya pada 2000," kata pria 46 tahun tersebut.
Habib mengungkapkan, awalnya sangat sulit mengajak warga mau memilah sampah. "Kuping harus tebal, Mas," ungkapnya lalu tersenyum.
Omongan yang terlontar pun bermacam-macam. Di antaranya. "Ngapain sih memilah sampah segala? Wong sudah bayar iuran sampah".
Tapi, melalui pertemuan demi pertemuan, warga mulai memahami pentingnya mempunyai sistem pengolahan sampah yang baik. Akhirnya, pada 2003, ada konsensus. Isinya, untuk warga yang tak memilah sampah, sampahnya tidak akan diangkut petugas.
Meski sudah konsensus, tak mudah menjalankannya. Pernah, seorang penggiat sistem pengolahan sampah tersebut dipukul warga sendiri. Gara-garanya, ada seorang warga yang bersikeras tak mau memilah sampahnya. Otomatis, sampahnya pun tak pernah diangkut.
Marah, warga tersebut mendatangi salah seorang penggiat sampah, kemudian memukulnya. "Tapi, sampahnya tetap tidak kami angkut. Demi sebuah konsensus. Kalau dipukul, terus kami angkut, tentu menjadi contoh buruk bagi warga lain," ujar Habib.
Warga tersebut tetap bersikeras dan menyatakan langsung membuang sampahnya ke TPS (tempat pembuangan sampah sementara). Namun, lama-kelamaan, warga itu repot sendiri dan akhirnya mau memilah sampahnya.
Seiring dengan itu, RW tersebut kemudian mendapat bantuan dari Pusdakota Ubaya untuk membuat rumah kompos. Pada 2005, sebuah unit pengolahan sampah menjadi kompos lengkap dengan mesin gilingnya pun didirikan.
Bahkan, untuk mengawasi pengolahan sampah, RW XIV sampai mempunyai task force (pasukan khusus) beranggota 15 orang yang bertugas mengontrol, memonitor, dan mengevaluasi jalannya sistem pengolahan sampah tersebut. Kendati wewenangnya hanya menegur, rekomendasi task force cukup membuat kapok warga yang masih mokong tak memilah sampahnya.
Apa itu? "Kalau sekali, dua kali, tiga kali ditegur tidak bisa, akan kami masukkan ke dalam daftar hitam warga mokong," tegas Habib.
Memang, tidak ada sanksi perdata atau pidana untuk para warga yang masuk dalam daftar hitam. Namun, efeknya cukup membuat warga berhitung berkali-kali kalau tetap tak memilah sampah. "Saat mengurus surat-surat ke RT dan RW, akan kami ingatkan lagi. Kalau mokong, bisa dipersulit," ujarnya.
Untunglah, sejak task force dibentuk setahun lalu, belum ada warga yang masuk daftar hitam. "Semua warga di sini tampaknya sudah tertib memilah sampah," ungkapnya.
Kini, Habib dan warga RW XIV lainnya pun mulai mengecap hasilnya. Di antaranya, berkat "rumah kompos", tiap tiga bulan, tersedia dana Rp 750 ribu untuk PAUD (pendidikan anak usia dini) dan kesehatan warga. "Kalau hasilnya (dari rumah kompos, Red) memang bagus, tak menutup kemungkinan biaya PAUD dan kesehatan warga bisa gratis," jelasnya.
Itu merupakan hal bagus, mengingat modal untuk itu hanyalah kemauan untuk memilah sampah dan bahan bakunya adalah sampah -yang notabene barang tak berguna. Sampah, bagi warga RW XIV, kini tak lagi menjadi sampah. (Jawa Pos, 25/5/08)
BISA jadi, RW XIV Rungkut Lor merupakan salah satu RW paling modern di Surabaya. Betapa tidak, RW itu telah mempunyai renstra (rencana strategis) untuk seluruh aspek kehidupan warganya. Masalah drainase, penghijauan, pendidikan, kesehatan, hingga sampah benar-benar dikonsep matang.
Namun, yang paling menonjol pada RW itu adalah pengolahan sampahnya. Berbeda dari Kelurahan Jambangan -yang terkenal dengan sentra daur ulang sampah keringnya-, RW XIV Rungkut Lor fokus pada pengolahan sampah basah menjadi kompos.
Sama seperti Jambangan, warga empat RT, yakni RT 1, 2, 3, dan 4 yang tergabung dalam RW XIV, sudah mempunyai kesadaran sendiri untuk memilah sampah. Karena itu, ada dua tempat sampah di tiap rumah warga, yakni sampah basah (organik) dan sampah kering.
Selanjutnya, tiap hari ada tiga petugas yang mengangkuti sampah-sampah tersebut. Gerobak sampah milik RW XIV Rungkut Lor juga berbeda dari gerobak sampah kebanyakan. Gerobak sampah mereka, baknya disekat menjadi dua bagian. Dapat ditebak, yang satu untuk sampah kering dan satu lagi untuk sampah basah. Sampah kering dikumpulkan untuk dibuang ke TPS (tempat pembuangan sementara), sedangkan sampah basah masuk ke tempat pengolahan warga. Di tempat itu, sampah basah tersebut akan diolah menjadi kompos.
Tepat di ujung gang Rungkut Lor VII, ada lahan seluas sekitar 100 meter persegi yang dijadikan "pabrik" kompos atau warga menyebutnya "rumah kompos". Di situlah perjalanan sampah warga berakhir.
Untuk mengubah sampah basah menjadi kompos, bukan pekerjaan sulit. Awalnya, sampah basah dimasukkan ke keranjang takakura susun -sebuah kotak plastik seperti krat soft drink. Di dalam keranjang itu sudah ada kompos. Perbandingan antara kompos dengan sampah baru adalah 1:1. Tinggal ditambah sekam, sampah basah tersebut dibiarkan selama dua hari agar terurai.
Setelah dua hari, isi keranjang itu dimasukkan mesin giling khusus. Hasil penggilingan tersebut dikumpulkan dalam sebuah ruang. Nah, di dalam ruang itu, proses komposisasi berlangsung. Tiap dua hari sekali, tumpukan sampah yang telah digiling tersebut digeser. "Perjalanan dari hasil gilingan hingga menjadi kompos siap pakai selama 14 hari," jelas Joego Ariefianto, kepala produksi rumah kompos itu.
Untuk apa kompos-kompos tersebut? Warga bisa menggunakannya untuk apa saja. Tapi, warga setempat memanfaatkannya untuk dua hal. Yakni, untuk bahan keranjang takakura baru (yang banyak dibeli warga daerah lain) dan untuk memupuk tanaman di kampung itu.
Dengan metode seperti itu, per bulan, warga RW IX Rungkut Lor bisa memproduksi 48 ton kompos. Bila dirupiahkan, nilainya setara Rp 48 juta (harga pasaran satu kilogram kompos Rp 1.000).
Seperti apa cara kerja keranjang takakura? Keranjang sampah takakura adalah keranjang pengurai sampah organik. Isinya, kompos hasil pengolahan sampah warga, di atasnya diberi semacam filter dari kain -yang juga berisi kompos. Cara membuang sampah organik di tempat sampah takakura itu cukup sederhana. Tumpukan kompos di keranjang tersebut digali dengan sekop, kemudian sampah basah (biasanya berupa sisa-sisa nasi dan sayuran) ditaruh di tengahnya.
Seberapa banyak daya tampung keranjang takakura? Menurut Arief, misalnya keranjang itu dipakai dalam keluarga, sebuah keluarga dengan lima jiwa, tempat sampah tersebut bisa bertahan selama empat bulan (empat bulan baru penuh). Setelah penuh, kompos yang meluber itu dibiarkan di tempat sejuk (terlindung dari hujan dan sinar matahari) selama tiga hari, maka sudah bisa menjadi penyubur tanaman.
Yang terpenting, sampah yang diolah dengan cara itu tidak akan menjadi penyumbang emisi gas buang. "Kalau sampah yang dibuang begitu saja, selain karbondioksida, juga lebih banyak menghasilkan gas metana," ujarnya.
Gas metana adalah salah satu gas yang dianggap paling bertanggung jawab atas terjadinya global warming. Berbeda halnya dengan takakura, yang dihasilkan hanyalah karbondioksida.
Rumah kompos binaan Pusdakota (Pusat Pemberdayaan Masyarakat Kota) Ubaya itu kini menjadi jujugan Dinas Kebersihan se-Jawa Timur, bahkan luar Jawa. Selain belajar, mereka biasanya membeli keranjang takakura yang sudah siap pakai. Mereka, antara lain, berasal dari Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan.
Terakhir, rumah kompos itu baru saja menyelesaikan order pembuatan 6.500 tempat sampah takakura pesanan Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Surabaya. Harganya, tiap keranjang Rp 90 ribu. Untuk order tersebut, Arief mengaku mendapat laba Rp 70 juta.
Kegiatan itu juga mampu menyerap tenaga kerja. "Semua bahannya, mulai tempat sampah, karton, penjahitan kain filter, hingga sekop, semua produksi dari kelompok-kelompok informal yang kurang beruntung. Misalnya, kelompok stren kali dan kaum difabel (cacat, Red)," ungkapnya. Contohnya, sekop takakura yang dibuat kelompok stren kali.
Selain berdampak sosial positif dan menyerap banyak tenaga kerja, pengolahan sampah tersebut bisa mengurangi timbunan sampah di LPA (lahan pembuangan akhir). Menurut Arief, tiap bulan, RW-nya rata-rata menghasilkan 50 ton sampah. Di antara jumlah itu, yang benar-benar disetor ke LPA hanya 2,5 ton. "Bayangkan kalau tiap kelurahan mempunyai pengolahan seperti ini. Umur LPA bisa semakin panjang belasan tahun," tegasnya.
Sekilas, sistem pembuangan sampah ala RW XIV tersebut gampang diadopsi dan bisa langsung sukses. Namun, seperti lazimnya dalam kisah sukses, tetap saja awal-awal babat alas selalu sengsara.
Menurut Habib, ketua RW XIV, perjuangan itu dimulai sejak delapan tahun lalu. "Tepatnya pada 2000," kata pria 46 tahun tersebut.
Habib mengungkapkan, awalnya sangat sulit mengajak warga mau memilah sampah. "Kuping harus tebal, Mas," ungkapnya lalu tersenyum.
Omongan yang terlontar pun bermacam-macam. Di antaranya. "Ngapain sih memilah sampah segala? Wong sudah bayar iuran sampah".
Tapi, melalui pertemuan demi pertemuan, warga mulai memahami pentingnya mempunyai sistem pengolahan sampah yang baik. Akhirnya, pada 2003, ada konsensus. Isinya, untuk warga yang tak memilah sampah, sampahnya tidak akan diangkut petugas.
Meski sudah konsensus, tak mudah menjalankannya. Pernah, seorang penggiat sistem pengolahan sampah tersebut dipukul warga sendiri. Gara-garanya, ada seorang warga yang bersikeras tak mau memilah sampahnya. Otomatis, sampahnya pun tak pernah diangkut.
Marah, warga tersebut mendatangi salah seorang penggiat sampah, kemudian memukulnya. "Tapi, sampahnya tetap tidak kami angkut. Demi sebuah konsensus. Kalau dipukul, terus kami angkut, tentu menjadi contoh buruk bagi warga lain," ujar Habib.
Warga tersebut tetap bersikeras dan menyatakan langsung membuang sampahnya ke TPS (tempat pembuangan sampah sementara). Namun, lama-kelamaan, warga itu repot sendiri dan akhirnya mau memilah sampahnya.
Seiring dengan itu, RW tersebut kemudian mendapat bantuan dari Pusdakota Ubaya untuk membuat rumah kompos. Pada 2005, sebuah unit pengolahan sampah menjadi kompos lengkap dengan mesin gilingnya pun didirikan.
Bahkan, untuk mengawasi pengolahan sampah, RW XIV sampai mempunyai task force (pasukan khusus) beranggota 15 orang yang bertugas mengontrol, memonitor, dan mengevaluasi jalannya sistem pengolahan sampah tersebut. Kendati wewenangnya hanya menegur, rekomendasi task force cukup membuat kapok warga yang masih mokong tak memilah sampahnya.
Apa itu? "Kalau sekali, dua kali, tiga kali ditegur tidak bisa, akan kami masukkan ke dalam daftar hitam warga mokong," tegas Habib.
Memang, tidak ada sanksi perdata atau pidana untuk para warga yang masuk dalam daftar hitam. Namun, efeknya cukup membuat warga berhitung berkali-kali kalau tetap tak memilah sampah. "Saat mengurus surat-surat ke RT dan RW, akan kami ingatkan lagi. Kalau mokong, bisa dipersulit," ujarnya.
Untunglah, sejak task force dibentuk setahun lalu, belum ada warga yang masuk daftar hitam. "Semua warga di sini tampaknya sudah tertib memilah sampah," ungkapnya.
Kini, Habib dan warga RW XIV lainnya pun mulai mengecap hasilnya. Di antaranya, berkat "rumah kompos", tiap tiga bulan, tersedia dana Rp 750 ribu untuk PAUD (pendidikan anak usia dini) dan kesehatan warga. "Kalau hasilnya (dari rumah kompos, Red) memang bagus, tak menutup kemungkinan biaya PAUD dan kesehatan warga bisa gratis," jelasnya.
Itu merupakan hal bagus, mengingat modal untuk itu hanyalah kemauan untuk memilah sampah dan bahan bakunya adalah sampah -yang notabene barang tak berguna. Sampah, bagi warga RW XIV, kini tak lagi menjadi sampah. (Jawa Pos, 25/5/08)