Peta Gerakan HPS, Kevikepan Kediri dan Blitar


Pertemuan aktivis pengembangan sosial ekonomi atau seksi sosial Paroki se-Vikep Kediri dan Blitar dilaksanakan pada 24-25 Juli 2010 lalu di Wisma Hening St. Catharina, Puhsarang. Pertemuan ini menjadi kesempatan untuk melihat kembali gerakan Hari Pangan Sedunia (HPS). Tahun lalu Vikep Cepu dan Madiun telah mengadakan kegiatan yang sama berupa pelatihan pertanian organik di Desa Randusongo, Ngawi.

Acara diawali dengan Rm. Agustinus Widodo, Pr yang memperkenalkan tim HPS Keuskupan Surabaya. Ada 9 orang petani atau penggerak pertanian yang berasal dari Vikep Kediri, Blitar, Madiun dan Cepu. Tim ini yang kelak akan menggerakkan kegiatan-kegiatan HPS di paroki se-Keuskupan Surabaya. HPS bukan pertanian organik semata, tetapi pemberdayaan pangan umat. Setelah itu menyusul perkenalan seluruh peserta sebanyak 36 orang dari 7 paroki.

Selanjutnya, Rm. Agustinus Made, Pr mengajak peserta menggali pemahaman tentang Hari Pangan Sedunia. Setiap peserta diminta menulis pada secarik kertas. Hasilnya antara lain: memperingati apa yang dimakan, hari pangan sedunia, menghormati alam yang diciptakan Tuhan untuk sarana hidup manusia sehingga perlu dipelihara, gerakan menuju kecukupan pangan, peduli pada alam, membuat sehat lingkungan demi kesehatan pribadi, upaya memecahkan masalah lingkungan pertanian dan ketahanan pangan. Ada lagi yang menyebutkan bahwa HPS itu misa pengumpulan dana, acara makan-makan serta kegiatan yang berkaitan dengan masalah pangan atau acara yang mengingatkan betapa penting lahan pertanian, mencari alternatif pangan manusia dan menghargai makanan, minuman dan air.

Praksis Gerakan HPS
Sesi berikutnya, peserta menceritakan kegiatan apa saja yang telah dilakukan selaras dengan semangat HPS dan partisipasi apa yang akan dilakukan berkenaan dengan HPS ? Paroki St. Yosef, Mojokerto saat ulang tahun paroki ke-75, menanam 1.000 pohon rambutan dan mangga serta mejadi peninjau di setiap ada pameran / perayaan HPS di Cepu, Blitar, Madiun dan nanti di Puhsarang. Sementara Paroki St. Petrus dan Paulus, Wlingi memprihatinkan banyak tanah yang digunakan untuk perumahan, sehingga lahan produktif menjadi berkurang. Saat menghadiri perayaan HPS di Blitar, semua diikuti dengan baik namun belum dipraktekkan. Meskipun para peserta adalah petani, namun belum paham benar pemupukan tanaman sehingga belum bisa melaksanakan HPS dengan baik. Harapan yang dibutuhkan adalah hal-hal praktis.

Paroki St. Yosef, Kediri mulai merintis pertanian organik didukung oleh Rm. Hardo Iswanto, CM. Petani di Desa Sambirejo sekarang sudah menanam padi semi organik karena airnya masih bercampur dengan aliran pengairan lain. Selain itu umat telah membuat dan menggunakan pupuk kandang, tidak lagi menggunakan pupuk kimia. Paroki St. Mateus, Pare memang mengikuti perayaan HPS di Blitar dan ingin terlibat dalam pembibitan, seseorang yang mengaku buruh ternak dan tani,. Ia sendiri tertarik dengan pertanian Rm. Hardo yang sudah panen beras jenis Pandanwangi, yang menurutnya enak. Saat ini di Desa Kampung Baru sedang mencoba bertanam pada lahan tadah hujan dengan memanfaatkan kotoran sapi, air kencing hewan dan sisa air dapur untuk menyeprot tanaman padi di lahan kering. Hasilnya, sudah mulai kelihatan kini tanaman menjadi hijau dan menunjukkan tanda keberhasilan.

Paroki St Maria, Blitar memulai dengan memanfaatkan pekarangan untuk tanaman blimbing oleh masing-masing warga di pekarangan rumah. Saat ini ada 1.800 pohon yang ditanam umat. Hasilnya bahkan ada yang diekspor ke Malaysia. Pohon blimbing milik Bp. Imam bahkan sudah mendapatkan sertifikat dari pemerintah. Berbagai olahan buah blimbing itu, antara lain berupa selai, sirup dan dodol. Salah seorang petani bernama Bp. Agus dulu bekerja sebagai sopir dan mengalami kecelakaan kini fokus menanam blimbing dan dapat membiayai keluarga. Inilah dua contoh pengusaha dan petani kecil di paroki St. Maria, Blitar yang berhasil. Selain itu ada juga pembuatan kripik singkong rasa gadung di salah satu stasi yang sudah diproduksi secara massal, pembuatan pewarna batik dengan bahan dari daun nangka, mahoni dan lainnya serta pembuatan kripik jagung. Ada pula seorang ketua stasi yang mempelopori pembuatan gula kelapa, dengan menderes sendiri dari pohon.

Sementara dari Paroki St. Yusuf, Blitar pernah ada usaha pertanian lestari bekerjasama dengan Universitas Widya Mandala, Surabaya, namun tidak berhasil. Ada pula usaha menggulirkan 18 ekor kambing, juga tidak berhasil. Demikian halnya dengan kursus pembuatan pupuk organik, pelatihan budidaya blimbing dan pupuk organik. Bahkan, sekolah-sekolah yang digerakkan tidak menindaklanjuti. Usaha saat ini setiap keluarga diharapkan dapat menghasilkan sayur secara mandiri dan mengolah limbah rumah tangga.

Belajar Bersama
Kesempatan berikutnya, para peserta mendapatkan beberapa pembelajaran dari rekan paroki lain yang saat ini konsisten melakukan gerakan HPS. Bp. Sitris dari Paroki St. Willibrordus, Cepu memperkenalkan energi limbah hewan, berupa contoh pupuk cair dari limbah hewan untuk alternatif pupuk tanaman ramah lingkungan dan lestari. Limbah hewan juga bisa dipakai untuk biogas pengganti LPG, tetapi tingkat resikonya sangat kecil. Penjelasan dengan foto-foto proses pembuatan kompor biogas menarik peserta yang antusias mengajukan pertanyaan.

Sementara itu, Bp. Anton Nur dari paroki St. Yoseph, Ngawi memperkenalkan pemanfaatan pekarangan / halaman dengan tanaman klengkeng pingpong. Ia menjelaskan bahwa pertanian organik menjadi alternatif pertanian ramah lingkungan. Apalagi mengingat biaya produksi dengan pupuk kimia per tahun cenderung meningkat. Petani selalu terpicu untuk meningkatkan produksi, sedangkan harga gabah justru turun di saat panen raya. Klengkeng pingpong yang digeluti selama 5 tahun menghasilkan 2 kwintal per musim. Tanaman ini tidak menggunakan pupuk kimia, sangat mudah, cocok untuk ditanam di lahan kering dan cuaca panas. Ia menyarankan, yang ideal satu lokasi, satu komoditi.

Bp. Jimat dari Paroki St. Yusup, Blitar memimpikan bagaimana petani dapat hidup wareg, waras lan tentrem uripe. Melalui kelompok petani Sekartanjung (yang artinya: semangat untuk berkarya), ada tujuh kelompok tani yang sebagian besar berusia lanjut. Pernah suatu kali para petani membutuhkan pupuk, tetapi pupuk hilang dari peredaran. Maka mereka membuat pupuk dengan bahan daun dan kotoran hewan. Menurutnya, tantangan ke depan jika mau membantu petani adalah membuat petani mandiri, membimbing petani dengan teknologi sederhana dari bahan baku ternak dan daun, pendampingan pada kelompok, bukan perorangan, memberi contoh lebih dahulu, sebelum mendampingi. Pendek kata, menurutnya, yang perlu diorganikkan adalah diri sendiri dulu baru tanah dan tanaman.

Sementara itu, Bp. Untung bersama tim dari Paroki St. Yoseph, Mojokerto mensharingkan pengalaman selama 2 tahun membawa anak-anak play group dan taman kanak-kanak St. Theresia, Krian pergi ke sawah dan kebun untuk memetik sendiri jagung dan kacang. Kemudian membawa pulang jagung dan kacang sebagai oleh-oleh. Ada sekitar 70 anak bersama guru memasuki sawah dan kebun. Tujuannya agar anak mengenali tanaman dari makanan yang pernah mereka makan seperti popcorn, kacang dan lain-lain.

Rencana HPS

Setelah mendengarkan berbagai masukan tentang pemahaman gerakan HPS, masing-masing paroki berkelompok untuk mencanangkan rencana mereka di masa mendatang.

Paroki St. Yoseph, Kediri akan mematangkan pertanian organik seperti: padi, sayur dan pupuk serta ternak sapi. Rencana yang sedang dikerjakan adalah pusat pelatihan pertanian dan peternakan bagi petani sekitar dan umat stasi yang akan diresmikan oleh provinsial CM, melibatkan penyandang dana yang peduli dalam bidang pertanian dan peternakan. Selain itu mengadakan pameran hasil-hasil pertanian organik seperti padi, sayur, buah dan bunga pada misa Jumat Legi. Harapannya ada semacam buku pintar dan kotbah Romo yang menyinggung tentang HPS, 14 Oktober 2010.

Selama ini, Paroki St. Yoseph, Mojokerto telah melakukan kegiatan penghijauan menanam 1.000 pohon mangga dan rambutan dalam rangka HUT Paroki ke-75. Hasilnya masih dalam masa pertumbuhan. Penanaman tersebut menyesuaikan kondisi lahan masing-masing seperti, Randegan (pertanian dengan kondisi tanah tandus), Pacet, Wunut dan Trawas (peternakan kambing, sapi, susu perah, dan pertanian), Krian (rempah-rempah seperti: kunir, jahe, laos, sere) dan kota (jamur, kripik singkong, jamu bubuk). Pada kegiatan HPS mereka akan memamerkan hasil panen.

Paroki St. Maria, Blitar berencana akan melakukan gerakan pemberdayaan lahan pekarangan rumah tangga dengan tanaman obat keluarga dan sayuran. Gerakan ini akan melibatkan kerjasama WKRI, KPG, seluruh lingkungan dan stasi. Pengolahan pangan alternatif akan fokus pada mendayagunakan jagung sebagai makanan olahan dengan produksi krupuk jagung, blimbing, gula kelapa, kripik gadung, batik dengan pewarna alam serta tanaman obat yang akan ditampilkan pada peringatan HPS, 14 Oktober 2010

Beberapa usulan yang muncul ialah: tindak lanjut pelatihan pembuatan biogas limbah hewan saat lokakarya menjelang misa Malam Jumat Legi, perlunya buku pintar tentang potensi pertanian organik yang ada, masalah-masalah pertanian, bahaya-bahaya makanan rekayasa genetik serta menggerakkan kaum ibu yang membutuhkan bantuan secara sosial ekonomi untuk mengikuti pelatihan pembuatan kripik dan batik dan mendorong agar di sekolah-sekolah yang ada menyediakan makanan tanpa bahan pengawet dan tanpa bungkus plastik. (Untung Subagyo, tim gerakan HPS Keuskupan Surabaya).