Saksi Kemerdekaan Petani Organik

Rumah sederhana TO Suprapto tak pernah sepi dari tamu. Petani dari Sabang sampai Merauke, bahkan dari luar negeri, datang berguru. Ibarat dunia persilatan, dialah salah seorang suhu yang harus dicari untuk berguru.

Bagi Suprapto, bertani organik juga sebuah filosofi. Bertani organik adalah soal kebutuhan dan kejujuran. Dari tembang-tembang Jawa kuno, ia menimba ilmu pertanian.

Lima paweling atau wejangan tentang pertanian pun disarikannya dari tembang kuno sebagai dasar lahirnya konsep pertanian Manajemen Akar Sehat (MAS). Tahun 1996 konsep MAS itu dibagikan kepada petani dari 16 negara yang berlatih di wahana pembelajaran organik Joglo Tani yang ia dirikan.

Metode MAS lalu dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris menjadi System of Rice Intensification (SRI). Metode SRI sukses dikembangkan di Madagaskar. Anehnya, Pemerintah Indonesia mengadopsi teknologi itu dari Madagaskar, bukan dari sumbernya di Sleman. ”Teknologi temuan petani masih dianggap remeh karena bukan temuan institusi,” ujar pria yang akrab dipanggil Pakde TO itu.

Metode SRI terbagi tiga prinsip pertanaman, yaitu tanam satu, tanam muda, dan tanam dangkal. Padi ditanam satu bibit satu lubang, bibit harus sudah berdaun empat, dan ditanam dangkal. Metode SRI terbukti meningkatkan hasil dan ramah lingkungan.

Ajaran leluhur

Wejangan lain tentang pertanian yang dianjurkan adalah pemberian pupuk sebagai makanan dan air sebagai penghidupan. Keduanya harus seimbang. Keluarnya bunga jangan sampai bersamaan dengan banyaknya angin sehingga harus ada perhitungan jadwal tanam.

”Metode ajaran leluhur dipakai, tetapi kita harus terus membaca situasi kekinian dengan memasukkan teknologi di tengah perubahan iklim,” katanya.

Sejak tahun 1990-an, ia menularkan konsep dasar pertanian itu. Diawali dari petani di Sleman, Yogyakarta, ilmu pertanian organik tersebar di seantero Nusantara. Pelatihan pertanian organik di Joglo Tani juga diminati anak-anak dari taman kanak-kanak hingga mahasiswa. Dalam sebulan, lebih dari 100 orang belajar dari Suprapto.

Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta pun secara rutin mengirim calon transmigran dari Yogyakarta untuk belajar ilmu pertanian organik. Sepanjang tahun 2010, terdapat 10 angkatan atau 250 transmigran belajar di Joglo Tani.

Tahun ini, pemerintah menjadwalkan pelatihan bagi 13 angkatan transmigran yang masing-masing angkatan terdiri dari 25 orang. Ditjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional pun rutin memberi beasiswa pelatihan di Joglo Tani. Para peserta harus mengetahui komposisi dan praktik pembuatan pupuk organik. Muaranya adalah kemerdekaan petani dari ketergantungan pada pabrik pupuk dan benih!

Belum merdeka

Menurut Suprapto, petani di Indonesia belum merdeka. Mereka hidup di bawah tekanan ekonomi, alam, sosial, budaya, globalisme, dan kebijakan. Pemerintah belum berpihak kepada petani. Beragam tekanan itu kian mengimpit petani karena mereka cenderung berjuang sendiri dengan kepemilikan lahan rata-rata di Jawa hanya 0,1-0,2 hektar per petani. Kelompok tani biasanya hanya sebatas papan nama sehingga mudah dimainkan tengkulak. ”Dari pemenuhan kebutuhan awal produksi, mayoritas petani sudah dikangkangi kapitalis sehingga tidak mandiri,” katanya.

Mengawali pekerjaan sebagai guru dan sempat menjadi wasit sepak bola nasional, Suprapto mulai memperdalam ilmu pertanian sejak mengikuti Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) tahun 1989-1999. Meski tak dibayar, ia bersemangat menjadi pemandu kelompok-kelompok petani di Kabupaten Sleman.

Ketika pemerintah tak lagi melanjutkan proyek SLPHT, Suprapto dan rekan-rekannya melahirkan wadah baru Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI). Sejak tahun 1999 hingga kini, ia menjadi koordinator umum IPPHTI nasional dengan keanggotaan sekitar 10 juta petani di seluruh Indonesia.

Bagi dia, Joglo Tani menjadi monumen kebangkitan petani. Petani yang pernah berjaya lalu terpuruk bisa bangkit lagi menjadi mandiri. Namun, kemandirian harus diawali perubahan pola pikir dari anorganik ke organik. Agar tak mudah dipermainkan rantai panjang produsen ke konsumen, petani perlu kembali membangun monopoli kelompok dengan menciptakan pupuk, pestisida, dan benih sendiri.

Secara fisik bangunan, Joglo Tani baru diresmikan Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X tiga tahun lalu. Namun, proses pelatihan pertanian organik sudah diawali tahun 1990.

Tenaga pendidik berjumlah 16 orang, ditambah pengajar dari Institut Pertanian Bogor, Universitas Gadjah Mada, atau Institut Pertanian Yogyakarta.

Memandirikan dusun

Joglo Tani di Dusun Mandungan I, Margoluwih, Seyegan, Sleman, itu menempati lahan seluas 8.000 meter persegi. Selain membangun pendopo untuk berkumpul, Suprapto menanam padi, beternak, dan membangun kolam ikan.

Ia mendapat penghasilan harian dari menjual telur itik serta mengolah dan menetaskannya. Penghasilan juga dia dapat dari panen ikan, padi, sayur, serta menjual ternak.

Dengan menyewa tanah kas desa seluas 2,25 hektar yang dimanfaatkan sebagai kolam ikan dan lahan pertanian, Joglo Tani menyumbang pendapatan asli bagi dusun. Dari lahan seperempat hektar dibangun 17 kolam ikan, 5 di antaranya diberikan cuma-cuma kepada semua ketua RT sebagai kompensasi. Satu kolam diberikan kepada kelompok karang taruna dan 11 kolam disewakan kepada masyarakat.

Hidup Suprapto dilandasi prinsip, kang kongkon yo kang nglakoni (yang menyuruh juga harus yang melakukan). Ia bermimpi, konsep wadah pembelajaran Joglo Tani bisa dikembangkan hingga ke seluruh Nusantara. Ia mengajak petani untuk tidak kecewa terhadap keadaan, tetapi bergerak maju dengan kemandirian. Merdeka. (Kompas, 29 Januari 2011)