Panen raya padi di Desa Embawang, Kecamatan Tanjung Agung, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, musim panen ini benar-benar diliputi kegembiraan. Tak hanya hasilnya yang jauh lebih tinggi dari panen-panen sebelumnya, beras yang diperoleh pun dihargai jauh lebih tinggi dari biasanya.
Cucuran peluh para petani selama mempraktikkan pertanian padi organik dengan sistem intensifikasi padi organik selama delapan bulan ini pun menuai hasil yang memuaskan. Beberapa petani yang tergabung dalam kelompok tani system of rice intensification (SRI) Desa Embawang itu ibarat mendapat berkah tak terduga pada panen kali ini. Arsan, Komri, dan Feri, misalnya, memperoleh Rp 30 juta di tempat yang akan dibagi bertiga.
Sebanyak dua ton beras organik panenan mereka langsung dib orong pejabat dari Kementerian Pertanian yang hadir dalam acara panen raya perdana padi organik SRI Desa Embawang, Sabtu (12/3/2011).
Tak kurang dari Menteri Pertanian Suswono, Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin, Bupati Muara Enim Muzakir Sai Sohar, dan sejumlah pejabat perusahaan hulu minyak dan gas bumi Medco hadir dalam acara panen raya tersebut.
Setiap kilogram beras organik ketiga petani itu dihargai Rp 10.000-Rp 15.000 atau jauh lebih tinggi dari beras yang dihasilkan dari metode bertani konvensional yang harganya hanya berkisar Rp 6.000-Rp 7.000.
Petani lainnya, Erwan, sudah menerima pesanan sebanyak dua ton beras organik dari Bupati Muara Enim Muzakir Sai Sohar. Nasi dari beras organik dari Desa Embawang patut dihargai lebih tinggi. Selain pulen, aroma beras tersebut sedap saat dicecap.
Panen kali ini merupakan panen perdana padi organik dengan sistem SRI di Desa Embawang. Dari sekitar 100 petani di Desa Embawang, terdapat 42 petani yang menerapkan sistem padi organik SRI. Sistem ini baru pertamak ali diterapkan di desa yang sebagian besar penduduknya bertani. Luas lahan mereka mencapai 38,5 hektar dari sekitar 138,5 hektar lahan sawah di Desa Embawang.
Sistem bertani padi yang ramah lingkungan dan tanpa bahan kimia itu membuahkan hasil. Setiap peta ni padi organik SRI memperoleh hasil sebanyak 6-12 ton setiap hektarnya. Jumlah ini jauh lebih tinggi dari hasil bertani padi dengan cara konvensional yang banyak bergantung pada pupuk dan obat-obatan kimia.
Kalau bertani konvesional, hasilnya rata-rata hanya 4,8 ton per hektar. Panen kali ini memang benar-benar berhasil, kata Maman Suherman (50) salah satu petani Desa Embawang yang juga Ketua Badan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP3K) Pandan Enim.
Dengan sistem padi organik SRI ini, para petani tidak menggunakan pupuk maupun pemberantas hama kimia. Mereka mengandalkan kompos, sejenis nutrisi tanaman organik yang disebut MOL (mikro-organisme lokal), dan kerja keras. Untuk setiap hektar sawah, dibutuhkan tujuh ton pupuk kompos yang didapat dengan mengolah kotoran hewan dan sampah organik.
Untuk itu, para petani memang harus bekerja lebih keras. Dengan pupuk kimia, sistem pemupukan cukup ringkas. Namun dengan pupuk kompos, para petani harus mau bersusah payah mengumpulkan kotoran hewan, mencac ah sampah organik, dan membawanya tujuh ton pupuk kompos ke sawah. Kesulitan utama muncul karena mereka kesulitan memperoleh kotoran hewan sehingga harus membeli dari desa tetangga. Di Desa Embawang sendiri, tak banyak penduduk memiliki ternak.
Selain itu, para petani juga harus telaten membuat MOL yang dihasilkan dari fermentasi alami bahan-bahan organik seperti bonggol pisang, rebung, sisa nasi, maupun sampah daun-daunan. Selain itu, sawah sistem SRI pun harus lebih sering disiangi dari gulma. "Karena sawah SRI tidak digenangi air, gulma menjadi lebih sering tumbuh. Untuk ini mudah saja, kami melibatkan istri-istri kami untuk ikut turun ke sawah dan menyiangi setiap dua hari sekali," ujar Arsan.
Mengembalikan ekosistem alami
Sistem SRI adalah teknik budida ya padi yang mampu meningkatkan produktifitas padi dengan cara mengembalikan sifat dan ekosistem alami tanaman, tanah, air dan unsur hara. Berbeda dengan penanaman konvensional, padi ditanam dengan jarak lebih renggang satu sama lainnya. Sawah pun tak dig enangi air seperti biasanya.
Saat penanaman bibit, satu lubang cukup diisi dengan satu bibit padi. Hasilnya, padi dapat menghasilkan lebih banyak anakan, batang padi tumbuh lebih besar, hemat air hingga 60 persen, hemat bibit hingga lima kilogram setiap hek tarnya, dan hasil panen lebih banyak. Sistem padi organik SRI ini juga lebih tahan hama karena adanya keseimbangan jumlah hewan pengganggu dan pemangsanya.
"Wereng dan walang sangit ada, tapi jumlahnya tidak banyak sehingga tidak jadi hama karena di sawah kami pun banyak katak, capung, dan laba-laba. Mereka ini berperan sebagai predator hama. Kalau di sawah konvensional, katak, capung, dan laba-laba ikut mati kena semprot pestisida," kata Arsan.
Para petani di Desa Embawang mulai mengenal sistem SRI sejak Agustus tahun 2010. Saat itu, sebanyak 80 petani dan penyuluh pertanian Pandan Enim dilatih untuk mengembangkan sistem pertanian padi organik SRI ini yang difasilitasi oleh dana tanggungjawab sosial (CSR) perusahaan minyak dan gas PT Medco Energi.
Para pelatih merupakan praktisi padi organik SRI yang telah berhasil mempraktikkanya di Ciamis, Jawa Barat. Pendamping petani Embawang yang juga Pakar pertanian padi organik SRI dari Jawa Barat, Alik Sutaryat menuturkan, metode SRI ini pertama kali ditemukan di Madagaskar sekitar tahun 1980-an oleh rohaniwan asal Prancis, Henri de Laulanie, SJ. Sistem ini telah berhasil diterapkan di berbagai daerah. Di Garut dan Aceh, sistem padi organik SRI ini mampu menghasilkan 11 ton setiap hektarnya.
Melihat keberhasilan panen ini, Pemerintah Kabupaten Muara Enim Muzakir Sai Sohar berniat mengembangkannya. Musim tanam kedua tahun ini, sistem bertani padi organik SRI akan ditularkan ke enam desa yaitu Tanjung Agung, Muara Emil, Pandan Enim, Lesung Batu, Lubuk Nipis dan Tanjung Bulan. Luasan sawah organik SRI ditargetkan 20 hektar di setiap desa.
Menteri Pertanian Suswono pun menyatakan dukungannya untuk pengembangan pertanian padi organik SRI ini. Sistem bertani ini dinilai penting untuk dikembangkan ke berbagai daerah di Indonesia guna mencegah krisis pangan yang telah menghadang di depan mata.
Tidak saja untuk kegembiraan mereka sendiri, kerja keras pada petani di Desa Embawang telah membuka mata banyak pihak akan tingginya potensi pertanian yang sehat dan ramah lingkungan. (Kompas, 18 Maret 2011).