Padi Organik, Sumber Kesejahteraan ?

Petani selalu dipuja karena produksi mereka menjadi tumpuan kehidupan hampir semua orang. Namun ironisnya, sebagian besar dari petani masih menyandang predikat sebagai penduduk miskin.

Sebagai negara agraris, mata pencaharian sebagai petani juga cukup mendominasi di sejumlah daerah, termasuk di antaranya Kabupaten Kudus, Jateng. Di daerah ini, sebagian besar wilayahnya merupakan areal pertanian, dengan luas tanam untuk padi hingga 19.920 hektare, setiap masa tanam (MT).

Luas areal tersebut dapat memproduksi sebanyak 116.472 ton gabah kering giling, atau 63.680 ton beras. Meskipun menjadi penupang kehidupan ribuan orang, mata pencaharian petani nyatanya belum menjanjikan.

Asa petani mulai muncul dengan pengembangan tanaman padi organik mengingat harga beras organik bisa mencapai Rp 7.000/kg. Harga beras nonorganik berkisar antara Rp 4.000/kg hingga Rp 5.000 /kg.

"Untuk mengubah pola berfikir petani memang susah. Perlu kesabaran dan ketekunan," ujar Sekretaris Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kudus, Hadi Sucahyono.

"Sebagian besar petani berfikir pragmatis dan sulit diubah meski itu untuk kepentingan mereka," katanya.

Ia menambahkan, percobaan pengembangan tanaman padi organik di Kecamatan Undaan dilakukan sejak 2004 dengan luas areal sekitar dua hektar dari tanah bengkok di Desa Undaan Kidul.

Hasil yang dicapai pada tahun lalu per hektar mencapai 4-4,5 ton gabah kering panen, dengan harga jual per kilogram beras mencapai Rp 7.000, sementara harga beras biasa hanya Rp 4.000.

Selain itu, biaya operasional dibanding padi konvensional lebih murah, per hektar hanya Rp 500 ribu, sedangkan sawah konvensional bisa mencapai dua kali lipatnya.

Hanya saja, percobaan saat itu baru mencapai 75 persen menggunakan pupuk organik, karena saluran irigasinya masih tercemar oleh sawah konvensional.

Sementara penggunaan pestisida untuk memberantas hama petani setempat diubah dengan memanfaatkan lengkuas, jahe, daun sirsak, dan abu dapur.

Usia tanam, katanya, tidak ada perbedaan yang signifikan, sama dengan sawah konvensional, yakni sekitar 110 hari.

"Awalnya, yang ditanam baru varietas chi herang. Rencananya sesuai permintaan akan ditanam jenis varietas umbu," ujarnya.

Ia mengatakan, kendala utama agar petani berani beralih menanam padi organik adalah pemasarannya.

Persoalan pemasaran hingga kini belum terselesaikan dalam mengembangkan tanaman padi organik, meski diklaim lebih baik bagi kesehatan dan lebih ramah lingkungan.

Ia berharap, sejumlah pihak, terutama pemerintah setempat bersedia membantu pemasaran beras organik yang dihasilkan para petani. "Setidaknya para petani mendapatkan fasilitas untuk memasarkannya hingga ke sejumlah supermarket," katanya.

Sebab, kata dia, pangsa pasar beras organik terbatas pada kalangan ekonomi kelas menengah ke atas, mengingat harga beras organik per kilogram mencapai Rp 7.000/kg. Sedangkan harga beras nonorganik berkisar antara Rp 4.000 hingga Rp 5.000/per kg.

Pelan tapi pasti, petani di sejumlah daerah di Kabupaten Kudus mulai melirik tanaman padi organik, mengingat persoalan pasokan pupuk yang sering kali terlambat dan mengalami kelangkaan.

Kini, luas areal di Kecamatan Undaan bertambah menjadi lima hektar, sementara di daerah lainnya, seperti di Desa Bulungcangkring muncul areal baru seluas dua hektar dan di Hadipolo seluas satu hektar.

Melihat respon petani yang tertarik mencoba padi organik untuk meningkatkan derajat hidup mereka, Dinas Pertanian Kudus pun kini mulai rajin menggelar pelatihan untuk para petani tentang teknik menanam padi organik.

"Setidaknya, para petani memiliki bekal untuk lebih meningkatkan penghasilannya di bidang pertanian," kata Kabid Tanaman Pangan Dinas Pertanian, Peternakan dan Kelautan Kudus, Bambang Arnowo. (Inilah.com, 18 Maret 2009)