Perjuangan Pak Tani, Catatan Hari Pangan Keuskupan Surabaya




Acara Hari Pangan Keuskupan Surabaya yang diadakan di Paroki St. Cornelius, Madiun, Minggu, 8 Nov 2009 kemarin memberi kesempatan para petani berbagi kisah. Sebagaimana tema Hari Pangan kali ini, Menegakkan Kedaulatan Pangan - Petani Sebagai Subyek. Salah satunya, Kelompok tani Bumi Berseri yang berada di bawah naungan dan binaan Seksos Paroki St. Willibrordus, Cepu. Setelah bulan Februari lalu mengikuti pelatihan pertanian organik di Randusongo, Ngawi, dengan niatan mulia mempraktekkan cara bertani organik dengan metode SRI.

Pada petak sawah yang tersedia, bertanam padi dengan model maju ini dilakukan. Sesudah 20 hari, hasilnya tanaman memberi harapan. Apalagi setelah 30 hari, rimbunan padi mencapai sekitar 30 batang anakan. Saat itulah hama pertama datang tak diundang, ialah keong emas yang meninggalkan telornya pada batang. Belum habis kegelisahan, burung-burung emprit tergoda memangsa padi yang mulai tumbuh. Sampai akhirnya, gerombolan tikus, hama khas area persawahan tepi Bangawan Solo berpesta di lokasi yang sama. Di sana sini, batang termakan habis. Namun tak kurang akal, area tanaman padi pun dikelilingi plastik penahan. Dasar tikus, memang benar-benar rakus, perlahan namun pasti memangsa bulir padi yang ditanam dengan metode SRI, yang mulai malai.

Syukurlah, perjuangan di area lain membuahkan hasil, yaitu di sawah yang menggunakan sistem Jajar Legowo. Sistem ini bertujuan meningkatkan produktivitas pertanian, yang merupakan penanaman padi yang diatur sedemikian rupa dengan lorong atau ruang terbuka yang cukup lebar. Awalnya, benih ditanam dengan jarak lebar lorongan 35 cm, 20 cm dan 35 cm. Sedangkan panjangnya ditanam dengan jarak 12,5 cm. Pengaturan jarak tanam sangat erat hubungannya dengan tingkat kesuburan tanah dan jenis varietas yang akan ditanam yang sangat menentukan tingkat produktivitas pertanian saat panen. Tentu dengan tetap memperhatikan, pengolahan tanah yang bertujuan untuk menggemburkan dan memperbaiki struktur tanah serta membuang gulma-gulma serta pemilihan benih yang bermutu. Alhasil, beras organik dengan kekhasan tanpa pupuk dan tanpa pestisida kimia pun, meskipun sedikit masih dapat dihasilkan.

Petani dari Paroki St. Paulus, Nganjuk, Bp. Sukino, mensharingkan bahwa sebenarnya hasil yang maksimal dapat dicapai jika diiringi doa. Terutama untuk menghindari hama tikus, ia menganjurkan petani bersandar pada keyakinan iman. Selama masa tanam hendaknya petani rajin berputar keliling petak sawah sambil berdoa Rosario, niscaya hama berlalu, demikian tipsnya. Dan itulah bedanya resep dari petani asli dengan resep dari petani yang pastor. Sampai jumpa pada Hari Pangan tahun depan...