Refleksi, Gereja Dan Pertanian


Salah satu persolan besar dalam dunia pertanian di Indonesia adalah praktik yang sangat boros? Apa maksudnya? Asupan yang diberikan pada tamanaman dan pertanian–pestisida-pupuk, benih hibrida, mekanisasi pertanian-mengisap BBM-berlebihan.

Harus diakui pertanian yang boros ini telah mengatasi beberapa persoalan kritis kehidupan manusia: mengurangi kelaparan, dan meningkatkan standar hidup yang rendah. Namum, pemecahan persoalan yang satu telah menimbulkan persoalan lain yang tidak kalah gawatnya. Input yang digelontorkan pada pertanian adalah sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui (misalnya minyak bumi). Cara bertani semacam ini membutuhkan modal besar dan sangat kapitalistik. Pengembangan varietas baru (padi, jagung, gandum) telah mengisap, kemudian menghancurkan lingkungan karena membutuhkan pupuk buatan dan pestisida dengan konsentrasi tinggi.

Dari peristiwa tersebut di atas berlangsung keterkaitan erat antara ekologi (kerusakan lingkungan), ekonomi (kemiskinan) dan social politik (korupsi dan kolusi antar pemegang kekuasaan dan pengusaha). Sebuah komplikasi yang rumit dan sekaligus menantang siapa saja yang sedang mengusahakan perbaikan hidup ini.
Apakah Gereja juga memedulikan untuk bidang dan isu yang sedemikian penting ini? Ataukah ia hanya memperhatikan sambil lalu saja? Ia banyak berbicara dalam rapat –rapat tetapi terlalu sedikit berbuat?

Data dan kisah sedih mengenai komplikasi petani dan pertanian di atas sudah banyak sekali diceritakan. Yang menjadi tantangan adalah bagaimana menyusun Pastoral, program, dan aksi yang menanggapi persoalan penting ini. Kalau Gereja mau terlibat dalam tantangan raksasa, pertama-tama ia tidak terjebak mengklim diri sebagai pahlawan segala-galanya yang dapat menolong dan dapat mengatasi persoalan ini. Klaim ini malah menjadi sumber kegagalan. Yang diharapkan dari Gereja dalah ketekunan dan kesetian hadir di tengah-tengah petani.

Tentu bukan sembarang ketekunan dan kesetiaan. Gereja diharapkan hadir dengan pendekatan partisipatoris. Gereja member inspirasi dan motivasi agar daya tahan masyarkat dan pertanian bertumbuh dan berkembang dari dalam diri mereka sendiri. Hanya pemberi inspirasi karena masyarakat petani itu sendiri yang akhirnya mengambil inisiatif untuk melakukan pembaruan , dan Gereja menjadi teman dialog yang konstruktif. Subsidi diberikan kemudian jika disepakati oleh semua pihak. Jangan bayangkan konsep di atas itu mudah saja dipraktikkan. Tidak ada situasi dan problem yang komplek diatasi hanya dengan konsep dan teori yang ditulis di atas kertas.

Gereja sudah terbukti unggul dalam hal pendekatan pastoral: mendengarkan, membimbing, konseling. Tetapi ilmu dan ketrampilan tersebut belum cukup untuk dunia pertanian dan petani. Komunitas Gereja peduli pertania harus paham persoalan teknis.

Mendalami fenomena pertanian yang berkelanjutan dan mempunyai orientasi pada lingkungan Gereja membutuhkan beberapa pengetahuan sekular: sosiologi, ilmu pertanian lingkungan, dan pembentukan komunitas. Skill ini penting agar ada langkah konkrit untuk keluar dari lingkaran poltik kapitalisme dunia pertanian.

Petani mampu digerakkan untuk bereksperimen teknologi-teknologi bercocok tanam baru yang ramah terhadap lingkungan. Tetapi sekali lagi membutuhkan ilmu-ilmu teknis, seperti ilmu iklim, tanah, biologi serangga dan sebagainya. Tantangan Gereja menjadi lebih besar karena petani selalu membutuhkan bukti konkret. Bahwa eksperimen ini sungguh memberikan harapan peningkatan kemakmuran untuk dirinya.Petani juga akan menjadi kuat bila ia bersatu dalam komunitas. Dengan demikian, dibutuhkan ilmu-ilmu sosial yang lebih spesifik, seperti teknik komunikasi, analisa sosial, dan organisasi.

Sekali lagi pendampingan pastoral saja tidak cukup. Cukup banyak ahli dalam gereja yang bisa merumuskan langkah-langkah pastoral itu dengan sangat baik. Tetapi yang kita butuhkan lebih dari itu. Yaitu datang, bertemu dan tinggal dengan petani. Ikut bersama mereka dalam duka dan kegembiraan, kecemasan dan harapan. (Rm. Siprianus Yitno, Pr, pemerhati dan peminat bidang pertanian)