Sebuah kampung kecil yang berlokasi di belakang pembangkit listrik PLN Jatirangon, Bekasi, Jawa Barat, ternyata menyimpan keistimewaan. Perkampungan yang bisa ditempuh sekitar dua jam perjalanan dari terminal Lebak Bulus di Selatan Jakarta ini dinaungi pepohonan hijau sehingga memberi udara segar. Di tempat itu, terlihat drum-drum kaleng berisi sampah berwarna biru bertuliskan: ‘Sampah Organik Mittran Daur Ulang’. Inilah wadah awal yang dirintis oleh Rumah Perubahan.
Pagar kayu cokelat besar bertuliskan “Rumah Perubahan” (RP) menyambut di salah satu sudut rumah yang menjadi tempat berkumpulnya komunitas pendaur ulang sampah. Tampak pula pohon jati berumur sekitar dua tahun setinggi kurang lebih enam meter, yang berjejer rapi ditanam sebagai salah satu pagar alam. Hijau dan mulai rindang. Pohon durian, rambutan, dan kelapa turut meneduhkan halaman RP. Tempat ini dirintis oleh Rhenald Kasali, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Belakangan, Rhenald bukan hanya rajin menulis buku, tetapi juga aktif menyuarakan sampah. Rupanya, sang empunya sudah menunggu di salah satu gedung yang baru sebulan ini rampung, gedung yang disebutnya Power House.
“Dari zaman dulu yang namanya bisnis beranjak dari masalah. Bagi orang yang mengerti bisnis, setiap masalah adalah kesempatan, dan setiap ada kemajuan pasti ada masalah,” Rhenald membuka obrolan. “Kita melihat sampah sebagai masalah. Masalah bagi yang buang dan masalah bagi yang rumahnya kebanjiran,” katanya. Padahal, ia melanjutkan, “Di dalam sampah tersimpan sumber energi yang berasal dari gas metan. Kita membuat teknologi yang dikerjakan sendiri oleh anak-anak kita dan tetangga-tetangga kita. Di sini karyawan saya 20 orang. Usaha ini berbasis komunitas,” Rhenald memaparkan dengan semangat.
Dijelaskannya, sebelum ini di daerah itu ada koperasi. Tetapi karena kendala teknis, koperasi ini tidak berjalan sesuai harapan. “Tidak berjalan karena pengurusnya tidak tetap. Sekarang kami remajakan melalui wadah rumah perubahan,” ujar penulis buku Recode DNA ini. Nantinya, ia berharap, akan ada banyak program turunan yang bisa dijalankan oleh koperasi. Sampah yang setiap hari diangkut dari tempat sampah penduduk kemudian diolah menjadi biomassa dan kompos. “Bisa dilihat, setiap lima rumah ada satu drum sampah organik yang berasal dari rumah perubahan. Mereka (penduduk) membayar Rp 30 ribu per lima rumah. Berarti tiap rumah hanya mengeluarkan Rp 6 ribu. Setiap hari sampahnya kami angkut dengan mobil-mobil kecil dan langsung diolah,” ujar Rhenald menjelaskan. ”Kalau di perumahan mewah mereka mau bayar Rp 25 ribu/bulan. Sehingga, kami bisa menggaji anak-anak putus sekolah yang membantu di sini, sopir, petugas yang mengelola mesin dan yang nge-press,” katanya menambahkan.
Sekadar gambaran, biomassa yang dihasilkan banyak dipesan oleh sektor industri. Saat ini harga biomassa hanya 1/3 batubara sehingga membuat pelaku industri mulai beralih ke energi alternatif ini. Inilah peluang di depan mata bagi pengusaha biomassa. “Mesinnya dibuat oleh UKM-UKM yang kami bina. Yang kerja di sini adalah anak-anak putus sekolah, mantan napi, dan tenaga-tenaga yang tidak punya keterampilan,” jelas ayah dua putera ini.
Tak hanya itu. RP juga melatih cara memisahkan plastik yang memiliki 20 jenis tekstur. “Kalau sudah terlatih sambil mata merem juga bisa. Plastik ini bisa diolah menjadi lahan ekonomis. Harganya Rp 2 ribu/kilogram,” ungkap Rhenald. Agar mandiri RP membuat mesin pemisah plastik sendiri. “Mesinnya tidak ada namanya, ya kami sebut sebagai mesin rumah perubahan saja,” ujar Rhenald berseloroh.
Cita-cita RP adalah Indonesia yang bersih dan sehat. Rhenald percaya, perubahan akan terjadi karena ada kegiatan ekonomi. “Sejauh ini masyarakat sekitar mendukung, tapi ada satu-dua orang yang antipati karena mereka belum mengerti,” katanya. Menurut Rhenald, jika masyarakat mendapatkan keuntungan dari sebuah perubahan yang berbasis komunitas, maka secara alamiah mereka pasti mendukung. “Ini punya masyarakat, bukan milik Rhenald Kasali,” katanya tegas.
Sampah yang diolah di sini, 80% menghasilkan biomassa dan 20% menjadi kompos. Program pengolahan sampah menjadi kompos, disebutkan Rhenald, akan menurunkan banyak program, antara lain bidang pertanian, seperti kebun sayur, tanaman hias, dan menanam padi. RP berusaha memaksimalkan semua yang berasal dari sampah, termasuk belatung yang dapat dijadikan tepung untuk makanan ikan. Sektor wisata juga diliriknya karena dapat memaksimalkan potensi sawah, farmer’s market, dan pemancingan. Semua potensi tersebut ia rencanakan akan masuk ke dalam program outbound berbasis pelatihan dan wisata. “Kami kerja sama dengan radio untuk mempromosikan hari panen di rumah perubahan. Jadi, siapapun bisa belanja ke rumah perubahan,” tutur Rhenald.
Saat ini RP memiliki tiga program utama, yaitu pelatihan, budidaya, dan kebudayaan. Pelatihan memiliki dua program, yaitu change dan entreprenuership. Program entrepreneurship memiliki cabang lagi, yaitu program menanam tanaman hias, ikan hias, sayur, bunga potong, anggrek, kaktus, dan ikan. Sementara program budidaya yang sudah berjalan adalah budidaya pohon jati. “Kami jual bibit jati kurang lebih Rp 35 ribu/bibit,” ungkapnya. Sedangkan program kebudayaan yang akan diretas -- salah satunya -- adalah wisata outbound.
“Hadirnya rumah perubahan harus bisa memberi manfaat bagi banyak orang. Kami mulai dari sekitar sini. Di sini akan ada pelatihan-pelatihan untuk berubah. Kami akan melatih orang untuk berwirausaha. Termasuk membangun jejaring. Kami juga melatih bagaimana caranya agar orang-orang bisa bankable,” ujarnya. Memang, Rhenald menekankan agar sebuah usaha visible, maka harus dilatih secara administratif agar sesuai dengan keinginan pihak bank. Misalnya, bagaimana membuat pembukuan yang benar. “Jadi, jangan mengeluh sajalah bangsa ini. UKM mengeluh tidak dapat kredit dari bank. Itu karena UKM-nya tidak bankable. Maka, di sini menjadi tempat pertemuan untuk melatih orang. Kalau melatih orang tentu saja tidak seluruhnya sosial, tapi ada pula biayanya. Misalnya, perusahaan yang karyawannya mau pensiun, bisa mengirimnya ke sini untuk diberi beberapa pelatihan,” tutur Rhenald menjelaskan. (Majalah Human Capital, Juni 2008)
Pagar kayu cokelat besar bertuliskan “Rumah Perubahan” (RP) menyambut di salah satu sudut rumah yang menjadi tempat berkumpulnya komunitas pendaur ulang sampah. Tampak pula pohon jati berumur sekitar dua tahun setinggi kurang lebih enam meter, yang berjejer rapi ditanam sebagai salah satu pagar alam. Hijau dan mulai rindang. Pohon durian, rambutan, dan kelapa turut meneduhkan halaman RP. Tempat ini dirintis oleh Rhenald Kasali, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Belakangan, Rhenald bukan hanya rajin menulis buku, tetapi juga aktif menyuarakan sampah. Rupanya, sang empunya sudah menunggu di salah satu gedung yang baru sebulan ini rampung, gedung yang disebutnya Power House.
“Dari zaman dulu yang namanya bisnis beranjak dari masalah. Bagi orang yang mengerti bisnis, setiap masalah adalah kesempatan, dan setiap ada kemajuan pasti ada masalah,” Rhenald membuka obrolan. “Kita melihat sampah sebagai masalah. Masalah bagi yang buang dan masalah bagi yang rumahnya kebanjiran,” katanya. Padahal, ia melanjutkan, “Di dalam sampah tersimpan sumber energi yang berasal dari gas metan. Kita membuat teknologi yang dikerjakan sendiri oleh anak-anak kita dan tetangga-tetangga kita. Di sini karyawan saya 20 orang. Usaha ini berbasis komunitas,” Rhenald memaparkan dengan semangat.
Dijelaskannya, sebelum ini di daerah itu ada koperasi. Tetapi karena kendala teknis, koperasi ini tidak berjalan sesuai harapan. “Tidak berjalan karena pengurusnya tidak tetap. Sekarang kami remajakan melalui wadah rumah perubahan,” ujar penulis buku Recode DNA ini. Nantinya, ia berharap, akan ada banyak program turunan yang bisa dijalankan oleh koperasi. Sampah yang setiap hari diangkut dari tempat sampah penduduk kemudian diolah menjadi biomassa dan kompos. “Bisa dilihat, setiap lima rumah ada satu drum sampah organik yang berasal dari rumah perubahan. Mereka (penduduk) membayar Rp 30 ribu per lima rumah. Berarti tiap rumah hanya mengeluarkan Rp 6 ribu. Setiap hari sampahnya kami angkut dengan mobil-mobil kecil dan langsung diolah,” ujar Rhenald menjelaskan. ”Kalau di perumahan mewah mereka mau bayar Rp 25 ribu/bulan. Sehingga, kami bisa menggaji anak-anak putus sekolah yang membantu di sini, sopir, petugas yang mengelola mesin dan yang nge-press,” katanya menambahkan.
Sekadar gambaran, biomassa yang dihasilkan banyak dipesan oleh sektor industri. Saat ini harga biomassa hanya 1/3 batubara sehingga membuat pelaku industri mulai beralih ke energi alternatif ini. Inilah peluang di depan mata bagi pengusaha biomassa. “Mesinnya dibuat oleh UKM-UKM yang kami bina. Yang kerja di sini adalah anak-anak putus sekolah, mantan napi, dan tenaga-tenaga yang tidak punya keterampilan,” jelas ayah dua putera ini.
Tak hanya itu. RP juga melatih cara memisahkan plastik yang memiliki 20 jenis tekstur. “Kalau sudah terlatih sambil mata merem juga bisa. Plastik ini bisa diolah menjadi lahan ekonomis. Harganya Rp 2 ribu/kilogram,” ungkap Rhenald. Agar mandiri RP membuat mesin pemisah plastik sendiri. “Mesinnya tidak ada namanya, ya kami sebut sebagai mesin rumah perubahan saja,” ujar Rhenald berseloroh.
Cita-cita RP adalah Indonesia yang bersih dan sehat. Rhenald percaya, perubahan akan terjadi karena ada kegiatan ekonomi. “Sejauh ini masyarakat sekitar mendukung, tapi ada satu-dua orang yang antipati karena mereka belum mengerti,” katanya. Menurut Rhenald, jika masyarakat mendapatkan keuntungan dari sebuah perubahan yang berbasis komunitas, maka secara alamiah mereka pasti mendukung. “Ini punya masyarakat, bukan milik Rhenald Kasali,” katanya tegas.
Sampah yang diolah di sini, 80% menghasilkan biomassa dan 20% menjadi kompos. Program pengolahan sampah menjadi kompos, disebutkan Rhenald, akan menurunkan banyak program, antara lain bidang pertanian, seperti kebun sayur, tanaman hias, dan menanam padi. RP berusaha memaksimalkan semua yang berasal dari sampah, termasuk belatung yang dapat dijadikan tepung untuk makanan ikan. Sektor wisata juga diliriknya karena dapat memaksimalkan potensi sawah, farmer’s market, dan pemancingan. Semua potensi tersebut ia rencanakan akan masuk ke dalam program outbound berbasis pelatihan dan wisata. “Kami kerja sama dengan radio untuk mempromosikan hari panen di rumah perubahan. Jadi, siapapun bisa belanja ke rumah perubahan,” tutur Rhenald.
Saat ini RP memiliki tiga program utama, yaitu pelatihan, budidaya, dan kebudayaan. Pelatihan memiliki dua program, yaitu change dan entreprenuership. Program entrepreneurship memiliki cabang lagi, yaitu program menanam tanaman hias, ikan hias, sayur, bunga potong, anggrek, kaktus, dan ikan. Sementara program budidaya yang sudah berjalan adalah budidaya pohon jati. “Kami jual bibit jati kurang lebih Rp 35 ribu/bibit,” ungkapnya. Sedangkan program kebudayaan yang akan diretas -- salah satunya -- adalah wisata outbound.
“Hadirnya rumah perubahan harus bisa memberi manfaat bagi banyak orang. Kami mulai dari sekitar sini. Di sini akan ada pelatihan-pelatihan untuk berubah. Kami akan melatih orang untuk berwirausaha. Termasuk membangun jejaring. Kami juga melatih bagaimana caranya agar orang-orang bisa bankable,” ujarnya. Memang, Rhenald menekankan agar sebuah usaha visible, maka harus dilatih secara administratif agar sesuai dengan keinginan pihak bank. Misalnya, bagaimana membuat pembukuan yang benar. “Jadi, jangan mengeluh sajalah bangsa ini. UKM mengeluh tidak dapat kredit dari bank. Itu karena UKM-nya tidak bankable. Maka, di sini menjadi tempat pertemuan untuk melatih orang. Kalau melatih orang tentu saja tidak seluruhnya sosial, tapi ada pula biayanya. Misalnya, perusahaan yang karyawannya mau pensiun, bisa mengirimnya ke sini untuk diberi beberapa pelatihan,” tutur Rhenald menjelaskan. (Majalah Human Capital, Juni 2008)