Sebuah teknologi dari masa lalu yang terlupakan kini digali kembali. Penyubur tanaman memanfaatkan mikrobioorganisme lokal menjadi harapan menuju pertanian ramah lingkungan dan mandiri, bebas dari pupuk dan obat-obatan kimiawi.
Delapan bulan terakhir, 42 petani Desa Embawang, Kecamatan Tanjung Agung, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, tak lagi menggunakan pupuk atau obat-obatan kimia. Mereka hanya menggunakan mikroorganisme lokal (MOL) dan kompos untuk menjaga kesuburan sawah mereka.
Hasilnya, panen beras awal tahun ini melimpah. Tiap hektar sawah rata-rata menghasilkan 6-10 ton beras. Panen itu jauh lebih besar dibandingkan hasil sawah yang diberi pupuk dan obat kimia yang 4,1-5,2 ton per hektar. Beras organik yang dihasilkan juga dihargai lebih.
"Beras kami dihargai Rp 10.000-Rp 15.000 per kilogram karena kualitasnya lebih bagus, lebih wangi, dan lebih tahan lama. Adapun beras biasa Rp 7.000 per kg. Baru sekali ini kami dapat panen sebaik ini," kata Maman Suherman (50), petani Desa Embawang yang juga Kepala Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan, Kehutanan (BP3K) Pandan Enim, Muara Enim, akhir Maret lalu.
Maman menuturkan, para petani Desa Embawang mulai mempelajari MOL dan kompos yang diterapkan dalam metode pertanian system of rice intensification (SRI) Agustus 2010 melalui pelatihan yang diselenggarakan perusahaan minyak dan gas Medco. Praktik dimulai pada musim tanam terakhir 2010.
Sejak itu, mereka tak lagi dipusingkan kelangkaan atau tingginya harga pupuk atau obat- obatan kimia. Yang mereka gunakan kini adalah larutan hasil fermentasi berbagai bahan organik yang sarat dengan mikroorganisme lokal. Bahan organik yang mereka gunakan beragam, mulai dari buah-buahan busuk, sampah organik rumah tangga, bonggol pisang, tunas bambu (rebung), sampai urine ternak yang difermentasi dalam air cucian beras dan air kelapa.
Maman menuturkan, petani harus bekerja lebih keras untuk membuat dan mengangkut sekitar 7 ton pupuk kompos untuk tiap hektar sawah dalam satu masa tanam.
Tiga komponen utama membuat pupuk MOL adalah karbohidrat, gula, dan sumber mikroorganisme. Karbohidrat yang lazim adalah air cucian beras. Glukosa diperoleh dari air kelapa atau larutan gula.
Karbohidrat dan glukosa diperlukan sebagai media mikroorganisme. Adapun mikroorganisme alias makhluk tak kasatmata itu diperoleh dari buah- buahan, sayuran, tunas bambu (rebung), bonggol pisang, keong emas, atau urine ternak.
Ipli, salah satu petani Desa Embawang, menjelaskan, bahan-bahan itu dicampur menjadi satu dan ditutup rapat dengan kertas selama tujuh hari. Proses ini merupakan proses fermentasi guna membiakkan mikroorganisme.
Setelah tujuh hari, dihasilkan larutan keruh dan beraroma menyengat yang sudah bisa digunakan. Untuk mengawetkan dan menghilangkan aroma menyengat, petani Embawang melakukan proses anaerob, yaitu wadah MOL yang tertutup dihubungkan dengan selang ke wadah tertutup lain berisi air selama sepekan. Hasilnya adalah larutan MOL yang lebih bening dan aroma lebih baik. MOL disemprotkan ke tanaman ataupun tanah di sekitar tanaman.
Pabrik nutrisi
Peneliti pertanian organik yang juga pengajar Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung, Mubiar Purwasasmita, mengatakan, larutan MOL adalah pabrik nutrisi. "Jika ditakar, nutrisi dalam MOL tak seberapa. Namun, mikroorganisme dalam MOL akan menghasilkan nutrisi bagi tanaman terus-menerus," katanya.
Menurut Mubiar, dalam larutan MOL umumnya ada tiga jenis bakteri dan jamur. Larutan MOL sampah dapur, misalnya, mengandung Bacillus sp, Saccharomyces sp, Azospirillum sp, dan Azotobacter sp. Selain itu, bisa mengandung Pseudomonas sp, Aspergillus sp, dan Lactobacillus sp.
Kombinasi mikroorganisme bisa berbeda tergantung bahan serta lokasi pembuatan. Jenis mikroorganismenya merupakan mikroorganisme lokal.
Setiap jenis larutan MOL mempunyai fungsi khusus. MOL buah-buahan untuk membuat bulir padi lebih berisi, MOL rebung untuk merangsang pertumbuhan tanaman.
Pengetahuan ini, kata Mubiar, diperoleh dari pengamatan petani, terutama petani di Jawa Barat, sebagai pengguna pertama MOL.
Teknologi lama
Meski sejumlah petani baru mengenalnya, kata Mubiar, teknologi MOL telah dikenal dan dipraktikkan petani Pulau Jawa pada masa lalu. Mubiar sempat menyaksikan orangtua dan petani di Garut mempunyai kolam di sekitar sawah ataupun ladang.
Di kolam, mereka membuang segala sampah organik dan urine ternak. Lama kelamaan kolam mirip kubangan lumpur. Zat itu lantas disiramkan ke tanaman.
Sayangnya, teknologi ini hilang perlahan-lahan, tergantikan penggunaan pupuk kimia yang semakin masif.
Menurut Mubiar, pada dasarnya larutan MOL dan kompos menyeimbangkan ekosistem alami tanah. Secara sederhana, kompos adalah pembentuk rongga-rongga di tanah yang berfungsi sebagai tempat hidup mikroorganisme, mengalirkan air, dan nutrisi. Adapun MOL adalah kumpulan mikroorganisme yang bertugas sebagai ”pekerja” pembuat nutrisi bagi tanaman.
Uniknya, Mubiar melanjutkan, nutrisi yang dihasilkan MOL juga dikendalikan tanaman. Ini berlangsung melalui mekanisme komunikasi lintas spesies yang cukup rumit dan melibatkan berbagai reaksi biokimia.
Secara sederhana, komunikasi ini berawal dari informasi yang tersimpan dalam getah ataupun cairan tanaman lain. Informasi ini berisi nutrisi-nutrisi yang dibutuhkan tanaman. Ketika getah ataupun cairan jatuh ke tanah, informasi ditangkap mikroorganisme yang kemudian merespons dengan menghasilkan nutrisi yang dibutuhkan.
"Dulu orang biasa melukai batang pohon mangga yang tidak pernah berbuah untuk mendorongnya berbuah. Cara ini cukup manjur meski orang-orang tidak tahu mekanismenya. Tetapi sebenarnya itulah yang terjadi, saat getah jatuh ke tanah, komunikasi terjadi," kata Mubiar.
Sistem yang saling mendukung ini tak tercipta pada penggunaan pupuk kimia. Mikroorganisme lenyap karena rongga tanah tak terbentuk. Tanah menjadi padat dan keras, kesetimbangan ekosistem sawah dan ladang pun rusak. Karena itu, tanaman yang dipupuk secara kimiawi akan sangat tergantung dari asupan pupuk karena di tanah tak lagi tersedia nutrisi. Alam pun menjadi kurang bersahabat saat kesetimbangannya tak dijaga. (Kompas, 6 Mei 2011)