Uu Saeful Bahri hanya bisa mengelus dada saat beberapa warga menertawakan cara tanam padi yang dilakukannya. Bila biasanya petani membutuhkan 30-40 kilogram benih per hektar, ia hanya membutuhkan 5-7 kilogram. Selain itu, bila petani biasanya menanam padi lima pohon per lubang, ia hanya menanam satu pohon per lubang.
”Mereka bilang kalau ada keong atau hama yang lain, bisa-bisa padi dimakan semua, saya bakal gagal panen dan rugi. Banyak lagi yang mereka tertawakan, seperti air di sawah yang tidak tergenang atau lahan yang tak ditaburi pupuk kimia,” cerita Uu mengingat peristiwa 12 tahun lalu.
Namun, nada pesimistis itu perlahan lenyap berubah menjadi kekaguman. Pola tanam yang dilakukan Uu ternyata memberikan hasil yang jauh lebih banyak dan berkualitas. Satu hektar lahan sawahnya bisa menghasilkan 10 ton gabah kering dengan modal Rp 1 juta-Rp 2 juta per musim tanam.
Hal itu berbeda dengan lahan petani konvensional yang maksimal hanya menghasilkan 7 ton gabah dan menghabiskan modal hingga Rp 5 juta per musim tanam.
Perbedaan harga pasarannya pun tinggi. Beras organik dijual hingga Rp 10.000 per kilogram (kg), sedangkan dengan bibit yang sama, padi konvensional paling tinggi terjual Rp 7.000 per kg.
”Ejekan mereka lalu berubah jadi rasa penasaran. Banyak petani ingin mengetahui apa rahasianya,” kata Uu.
Karena itu, cara tanam yang dilakukan Uu pun menjadi tontonan. Sejak menyemai benih hingga menanamnya di sawah, banyak warga berjejer di pematang sawah. Beberapa yang tertarik lebih jauh memberanikan diri bertanya dan spontan minta diajari cara menanam seperti yang dilakukan Uu.
”Tak ada sakit hati. Justru saya senang berbagi kemampuan demi hasil yang lebih baik,” katanya.
Metode yang diterapkan Uu adalah cara tanam padi organik. Metode ini intinya adalah teknik budidaya padi yang mampu meningkatkan produktivitas tanpa menghancurkan kualitas tanah. Setidaknya ada empat rekayasa teknis yang dibutuhkan di sini, yaitu persiapan benih berkualitas, pengolahan tanah teratur, pemupukan yang tepat menggunakan kompos dan pupuk hijau, serta pemeliharaan yang telaten dan teratur.
Sesungguhnya sejak dulu petani Indonesia telah mengenal cara bertani seperti itu. Salah satu buktinya, menurut Uu, sejak dulu leluhur memperlakukan tanah dan padi sebagai induk dari kehidupan. Lahan sawah padi organik pun pantang ditaburi pupuk atau pestisida kimia.
”Kotoran sapi dan daun busuk punya unsur hara tinggi. Selama ini ada anggapan salah di kalangan petani. Mereka menganggap kalau mau panen banyak, harus mengutamakan kesuburan tanamannya. Padahal, yang terpenting adalah tanah. Kalau tanah subur, ditanami apa saja pasti tumbuh dengan baik,” katanya.
Dukungan daerah
Perkenalan Uu dengan padi organik berawal dari kegelisahannya dengan hasil panen petani yang tak maksimal pada 1999. Sebagai Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, ia harus memberikan alternatif baru cara tanam yang menguntungkan.
Setelah mengikuti beragam pengenalan yang diadakan Dinas Pertanian Kabupaten Tasikmalaya, Uu yakin system of rice intensification (SRI) organik bisa memberi keuntungan bagi petani. Sejak tahun 2003 ia menetapkan padi organik sebagai program unggulan KTNA Kabupaten Tasikmalaya.
Namun, tak mudah mengenalkan metode ini kepada petani. Muncul pro dan kontra terkait penerapan cara tanam ini. Atas dorongan beberapa kawan, Uu terus maju dan meminta dukungan Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya dan Provinsi Jabar. Bupati Tasikmalaya dan Gubernur Jabar memintanya terus mengembangkan metode itu.
Pesertanya tidak hanya dari Pulau Jawa, tetapi juga dari berbagai daerah di Sumatera, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, hingga Sulawesi. Bahkan, Norman Uphoff, pakar padi organik dari Cornell University Amerika Serikat, pun berkunjung ke Tasikmalaya dan mengacungkan jempol atas hasil yang diraih petani di kabupaten ini.
”Mulai tahun 2004 hingga kini, bersama teman-teman petani organik, saya mempromosikan dan memberikan pelatihan bagi masyarakat. Ada pula sekolah singkat yang dikelola petani organik Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Simpatik untuk menularkan cara bertanam padi organik,” katanya.
Petani mandiri
Khusus di Kabupaten Tasikmalaya, menurut Uu, lahan padi organik terus mengalami peningkatan. Kini ada delapan Gapoktan yang aktif melakukan penanaman padi organik. Rata-rata Gapoktan punya empat kelompok dengan anggota sekitar 25 orang.
Dari 49.500 hektar lahan sawah di Tasikmalaya, baru 320 hektar yang merupakan sawah organik bersertifikat organik internasional dan perdagangan berkeadilan dari The Institute for Marketology yang berbasis di Swiss. Seluas 60 hektar lainnya baru mendapatkan sertifikasi Standar Nasional Indonesia. Rata-rata panen mereka 10 ton per hektar.
”Lulus sertifikasi itu tak mudah karena kami minimal harus tanam serempak dalam satu lahan luas selama tiga tahun. Selain itu, data sejak tiga tahun lalu harus dibuat dan diberikan kepada pengawas. Rumit pada awalnya, tetapi karena sudah terbiasa, kami bisa menikmatinya,” kata Uu.
Padi organik telah dikenal di dalam dan luar negeri. Di dalam negeri, keberhasilan petani Tasikmalaya mengembangkan padi organik membuat Kementerian Pertanian menetapkan daerah ini sebagai sentra padi organik bersama Kabupaten Garut dan Kabupaten Ciamis, Jabar.
Pesanan padi organik dari luar negeri pun tidak pernah sepi. Permintaan 90 ton per pengiriman terpaksa ditolak karena petani baru bisa memenuhi pasar luar negeri secara teratur 18 ton per pengiriman. Permintaan datang dari Amerika Serikat, Jepang, dan Arab Saudi.
Uu tetap bersemangat mengembangkan padi organik. Ini tak semata-mata demi memenuhi permintaan pasar, tetapi ada yang lebih penting, yakni menjaga kesuburan tanah untuk warisan generasi selanjutnya. Lewat padi organik pula, banyak lapangan pekerjaan baru tercipta.
”Buat saya, yang paling penting dari semua itu adalah menjadikan petani mandiri, petani yang bisa menjadi tuan di atas lahannya sendiri,” kata Uu. (Kompas, 15 Juni 2011)